Sabtu, 4 Oktober 2025

Revisi UU TNI

IDCI Soroti UU TNI: Bicara Kedaulatan Siber dan Pertahanan Siber, Harusnya TNI yang Utama

Dengan UU TNI ini yang menempatkan militer Indonesia hanya sebagai “pembantu” dalam pertahanan siber.

Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
REVISI UU TNI - Suasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) menyoroti revisi UU TNI yang sudah disahkan oleh DPR RI menjadi UU TNI baru pekan lalu.

Dengan UU TNI ini yang menempatkan militer Indonesia hanya sebagai “pembantu” dalam pertahanan siber.

Direktur Eksekutif Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) Yayang Ruzaldy mengungkapkan bahwa semestinya TNI tidak lagi menjadi sekedar pelengkap dalam domain pertahanan siber.

Alasnanya karena sebenarnya bertentangan dengan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Rujukan lainnya yaitu UU Nomor 3 Tahun 2002 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 yang telah menetapkan TNI sebagai komponen utama untuk menghadapi ancaman militer.

“Revisi UU TNI seharusnya menjawab bahwa ancaman siber dapat menjadi bagian dari ranah pertahanan nasional dan bahwa TNI adalah institusi yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga kedaulatan negara di wilayah ini,” ungkap Yayang Ruzaldy di Jakarta, Senin (24/3/2025).

Menempatkan TNI hanya berperan sebagai ‘membantu’ menurut IDCI justru kontradiktif terhadap kebutuhan strategis Indonesia di tengah transformasi global dimana ditemukan peperangan tidak lagi dibatasi oleh aktivitas dalam wilayah secara fisik.

Dalam konteks kedaulatan siber, posisi TNI seharusnya bersifat utama bukan hanya pelengkap.

Yayang kemudian menanggapi Perpres Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang tidak mengklasifikasi ancaman siber sebagai ancaman militer. Menurutnya hal tersebut perlu ditinjau ulang.

“Ancaman siber saat ini telah menyerupai karakteristik peperangan modern meliputi sabotase digital, pencurian intelijen dan konflik geopolitik. Ancaman seperti ini tidak lagi cukup ditangani oleh lembaga sipil semata,” jelasnya.

Yayang menyebut BSSN misalnya sesuai Perpres Nomor  28 Tahun 2021 berperan dalam kebijakan teknis dan pemulihan insiden siber, sementara Kemenkomdigi, sesuai Perpres Nomor  174 Tahun 2024, mengatur ruang digital dan perlindungan data pribadi.

Keduanya tidak memiliki otoritas atau struktur  komando yang dapat merespons serangan siber strategis secara militer.

Yayang kemudian merujuk kepada US Cyber Command nya Amerika Serikat, Israel melalui Unit 8200 serta NATO melalui doktrin cyber defense yang sudah menempatkan militer sebagai pusat kendali atas insiden siber berskala strategis.

“Mereka tidak menugaskan kementerian komunikasi untuk menanggulangi serangan siber terhadap instalasi militer atau sistem kendali nuklir karena ruang siber telah diakui sebagai fifth domain of warfare setara dengan darat, laut, udara, dan luar angkasa” jelas Yayang.
 
IDCI menilai jika revisi UU TNI secara eksplisit tidak menjadikan TNI sebagai komponen utama untuk melindungi ruang siber nasional maka akan melemahkan posisi TNI dalam menghadapi era peperangan digital, 5 GW Fifth Generation Warfare.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved