Revisi UU TNI
21 Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Kritik Daftar Inventaris Masalah RUU TNI
Yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 21 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI pada 11 Maret 2025.
Mereka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, dan Amnesty International Indonesia.
Kemudian juga ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, serta Centra Initiative.
Selain itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, dan Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP).
Selanjutnya Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan Dejure.
Koalisi memandang, dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme.
Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak urgent karena UU TNI Nomoro 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional sehingga belum perlu diubah.
Menurut Koalisi, yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997.
Aturan tersebut, menurut Koalisi perlu diubah agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi.
Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah.
Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.
Menurut Koalisi untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan itu tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.
Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun menurut Koalisi perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu.
Sejak awal di bentuknya Jampidmil, Koalisi mengakus sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.