Kamis, 2 Oktober 2025

RUU Perampasan Aset

Korupsi Makin Menggurita, Hardjuno: Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati

Kasus korupsi yang terus meluas di Indonesia menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah.

|
Ist
PERAMPASAN ASET - Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, Rabu (5/3/2025). Ia menilai bahwa lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi secara serius. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus korupsi yang terus meluas di Indonesia menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah.

Berbagai skandal korupsi bernilai triliunan rupiah, seperti dugaan megakorupsi PT Pertamina yang merugikan negara hingga Rp271 triliun sejak 2018, semakin memperburuk situasi.

Kasus ini menambah daftar panjang skandal besar lainnya, termasuk BLBI, Jiwasraya, ASABRI, dan PT Timah.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dianggap sebagai solusi yang efektif.

Namun, hingga kini, pembahasannya masih terkatung-katung di DPR.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya pengesahan RUU tersebut menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi secara serius.

"Pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati. Tidak boleh ditunda lagi," tegas Hardjuno di Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Hardjuno menjelaskan bahwa perampasan aset adalah cara yang efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor.

Ia menekankan bahwa mengandalkan hukuman penjara tidak cukup, mengingat banyak koruptor yang tetap dapat hidup nyaman setelah menjalani hukuman karena aset mereka tidak tersentuh. "Perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi," tambahnya.

Strategi pemberantasan korupsi, menurut Hardjuno, harus meliputi tiga aspek utama:

pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset.

Namun, selama ini, aspek pemulihan aset sering terabaikan akibat mekanisme hukum yang berbelit.

Proses pemulihan aset hasil korupsi masih bergantung pada putusan pidana, yang dapat memakan waktu bertahun-tahun dan memberi celah bagi koruptor untuk menyamarkan aset mereka.

Hardjuno menambahkan bahwa RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana. 

Model ini telah diterapkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dengan Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.

“RUU ini akan memungkinkan negara menyita aset koruptor sejak penyidikan, selama ada bukti yang cukup bahwa kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, ada juga konsep illicit enrichment, di mana pejabat yang hartanya meningkat secara tidak wajar bisa langsung diperiksa dan asetnya disita bila tidak bisa membuktikan asal-usulnya secara sah,” kata Hardjuno.

DPR Tak Serius

Meski sudah lama diwacanakan, pembahasan RUU Perampasan Aset terus mengalami jalan buntu.
Pemerintah telah mengajukan rancangan aturan ini sejak 2003 sebagai inisiatif dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

Namun, hingga kini, RUU tersebut masih belum masuk ke tahap pembahasan di DPR secara serius.

“Mandeknya RUU Perampasan Aset ini bukan tanpa alasan. Ada indikasi kuat bahwa kepentingan elite politik ikut bermain. Bagaimana mungkin aturan yang bisa memiskinkan koruptor ini akan disahkan dengan mudah, sementara banyak elite yang mungkin saja terdampak?” tegas Hardjuno.

Ia juga menggarisbawahi fakta bahwa selama ini banyak kasus korupsi yang berkaitan erat dengan sumber daya alam, seperti kasus PT Timah dan skandal tata kelola pertambangan lainnya. 

Padahal, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah menegaskan bahwa sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan menjadi lahan bancakan para koruptor.

“Korupsi di sektor sumber daya alam ini ironis. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat malah dikuasai oleh segelintir orang. Kalau RUU Perampasan Aset disahkan, ini bisa menjadi langkah strategis untuk mengembalikan aset negara yang telah dijarah,” paparnya.
Jalan Keluar: Komitmen Politik dan Independensi Aparat Hukum

Hardjuno menekankan bahwa pemberantasan korupsi yang efektif tidak cukup hanya dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset

Ada dua syarat utama agar aturan ini benar-benar berjalan, yakni komitmen politik yang kuat dan independensi aparat hukum.

“RUU Perampasan Aset ini ibarat pisau tajam. Kalau berada di tangan yang tepat, bisa digunakan untuk membersihkan korupsi dari akar. Tapi kalau penegak hukum masih bisa diintervensi, aturan ini bisa saja mandul atau bahkan disalahgunakan,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya memperkuat lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan secara sistematis.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved