Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Pelibatan Dewan Pertahanan Nasional dalam Mengurus Sawit
Ketua DPN Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan. Ini respons Koalisi Masyarakat Sipil.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit.
Hal itu disampaikan dalam kesempatan rapat bersama dengan Komisi I DPR RI pada (4/2/2025).
Sjafrie mengatakan bahwa DPN akan bertugas mengobservasi seluruh permasalahan nasional di Indonesia.
Wakil Direktur Imparsial yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemananan, Ardi Manto Adiputra, memandang, pernyataan Sjafrie tersebut adalah pernyataan yang tidak hanya keliru, tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional dan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Apalagi, dia menyebut pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme yang justru mewariskan berbagai pelanggaran HAM.
“Pernyataan bahwa DPN akan mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan, sawit, dan seluruh permasalahan nasional lainnya tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan,” kata Ardi kepada wartawan, Kamis (6/2/2025).
Dia pun menjelaskan, dalam UU Pertahanan secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan.
“Upaya menarik DPN ke dalam ranah non-pertahanan, termasuk juga dalam pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik,” terangnya.
Direktur Imparsial ini juga menilai, pembentukan DPN harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang.
Bukan justri terlibat dalam urusan non-pertahanan di dalam negeri.
“Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI (dulu ABRI) seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini,” jelasnya.
Dia juga menilai, masalah DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet.
Pasal 3 huruf F, misalnya, mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan.
Pihaknya pun mencatat, sebelumnya ada beberapa keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM.
Contoh lain, penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food-estate di Merauke, Papua Selatan yang berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan masyarakat adat.
IDSurvey Dorong Praktik Bisnis Hijau Lewat Pendekatan Riset dan Teknologi |
![]() |
---|
Ferry Irwandi 'Dibidik' Satsiber TNI, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Polri Tak Proses Laporan |
![]() |
---|
Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Revisi UU HAM Harus Berpihak kepada Korban |
![]() |
---|
Hakim Djuyamto Perintahkan OB PN Jaksel Tukar Valas Dolar AS Senilai Rp2 Miliar |
![]() |
---|
Tegakkan Supremasi Sipil, Wujudkan Keadilan Sosial dan Cegah Darurat Militer |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.