KontraS Soroti 6 Persoalan di 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, Satu di Antaranya soal TNI-Polri
KontraS memberikan judul Catatan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu "Impunitas dan Bersambungnya Derita Satu Dekade Kegagalan Jokowi".
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan catatan kritis terkait dengan kinerja 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
KontraS memberikan judul Catatan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yaitu "Impunitas dan Bersambungnya Derita Satu Dekade Kegagalan Jokowi".
Baca juga: 100 Hari Pertama Kinerja Presiden Prabowo, PKB: Momentum Presiden Gas Pol Program Prioritas
KontraS menyatakan memilih judul itu karena mencerminkan kesinambungan persoalan mendasar dalam pemerintahan baru yang tidak lepas dari warisan problematika di era Joko Widodo - Ma’ruf Amin.
Dalam catatan itu, KontraS menyoroti enam permasalahan pokok yakni:
1) permasalahan impunitas
dalam rezim baru;
2) reformasi sektor keamanan;
3) minimnya akuntabilitas penyelesaian kasus dan penegakan hukum;
4) hukuman mati;
5) situasi pembungkaman dalam ruang kebebasan sipil;
6) keterlibatan Indonesia dalam panggung internasional.
Baca juga: 100 Hari Prabowo-Gibran, 80,9 Persen Rakyat Puas, Peneliti Litbang Kompas: Ada Harapan Masyarakat
Terkait dengan reformasi sektor keamanan, KontraS mencatat berbagai peristiwa kekerasan terus terjadi dalam 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hasil pemantauan KontraS menunjukkan sepanjang 20 Oktober 2024 sampai 16 Januari 2025 terjadi 136 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Kepolisian RI dan 12 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya menyayangkan tidak satupun peristiwa kekerasan tersebut menemukan penyelesaian yang berkeadilan.
Menurutnya hal itu menunjukkan dalam 100 hari masa kerjanya, pemerintahan Prabowo - Gibran belum mampu melakukan pembenahan bahkan perubahan berarti dalam proses penegakan hukum.
Ia memandang terdapat tiga hal fundamental yang menjadi muara dari permasalahan yang ada di institusi TNI-Polri yakni struktural, regulasi, dan kultural.
Untuk menyelesaikan persoalan itu, menurutnya butuh komitmen dari Kepala Negara atau presiden untuk melakukan evaluasi terhadap institusi-institusi aparat keamanan dan juga pertahanan.
Menurutnya pertama adalah dengan mengevaluasi pimpinan di kedua institusi tersebut.
Selain itu, menurut dia juga perlu Menko Politik dan Kemanan, Menko Hukum Asasi Manusia, Pemasyarakatan, dan Imigrasi serta Menteri Pertahanan juga perlu dilibatkan dalam melihat proses-proses reformasi yang dikehendaki Kepala Negara.
Hal kedua yang menurutnya juga perlu dievaluasi adalah terkait anggaran yang diberikan kepada dua institusi itu.
Ia mencatat pertahanan dan keamanan masih menempati posisi dengan alokasi anggaran APBN terbesar dibandingkan kementerian atau institusi pemerintahan lainnya.
Ia mempertanyakan mengala dengan anggaran yang besar namun masih bisa ditemukan tindakan-tindakan yang dilakukan personel TNI dan Polri berada di luar batas kewajaran.
Hal ketiga yang perlu dievaluasi, menurutnya adalah instrumen pendidikan pembinaan yang ada di tubuh TNI-Polri.
Hal itu disampaikannya di kantor KontraS Jakarat Pusat pada Senin (20/1/2025).
"Kami menyoroti ini karena problem kulturalnya adalah lewat pola pendidikan-pola pembinaan yang tidak baik dan penuh dengan satu situasi korupsi, nepotisme yang pada akhirnya menghasilkan satu kualitas prajurit dan anggota polisi yang juga tidak berkesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat," kata Dimas.
"Jadi misalnya evaluasi terhadap sistem pendidikan, evaluasi terhadap sistem pembinaan, evaluasi terhadap sistem SDM dan juga evaluasi dalam urusan pembagian jabatan yang ada di institusi TNI-Polri," sambungnya.
Hal lain yang juga menurutnya menjadi akar masalah di kedua institusi tersebut adalah soal kompetisi untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di internal TNI-Polri terutama di jabatan perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati).
Menurut dia banyaknya jumlah pamen-pati di TNI dan Polri bertolak belakang dengan jumlah jabatan-jabatan yang ada di institusi TNI-Polri yang lebih sedikit.
Khusus untuk TNI, ia menyoroti soal revisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Undang-Undang Peradilan Militer yang masih berlaku itu yang merupakan produk zaman orde baru itu masih menghendaki adanya impunitas di tubuh TNI. Terbukti dengan sejumlah kasus-kasus tindakan pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI yang itu selalu kemudian larinya ke Peradilan Militer," ujar dia.
"Karena memang dalam Undang-Undang TNI yang ada hari ini itu masih mengakomodasi bahwa Undang-Undang Peradilan Militer itu harus segera direvisi dulu. Untuk kemudian dapat mendorong adanya proses-proses peradilan umum kepada anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum," lanjutnya.
Dalam konteks kepolisian, menurutnya meski Undang-Undang nomor 2 tahun 2022 tentang Kepolisian masih cukup efektif, akan tetapi regulasi internalnya masih kerap ditabrak oleh anggota kepolisian.
Kedua regulasi tersebut yakni PERKAP Nomor 1 tahun 2009 dan PERKAP nomor 8 tahun 2009.
PERKAP nomor 1, kata dia, adalah soal penggunaan kekuatan yang seringkali dilanggar oleh anggota kepolisian terutama dalam konteks pengamanan masa aksi.
Sedangkan PERKAP nomor 8, ungkapnya, adalah soal implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia mengingat masih adanya tindakan penyiksaan, penangkapan di luar prosedur hukum, bahkan pembunuhan di luar prosedur hukum atau extrajudicial killing yang dilakukan personel kepolisian dengan justifikasi diskresi.
"Jadi sepertinya memang perlu dievaluasi regulasi-regulasi internal di kepolisian dan juga peran penting untuk memperkuat fungsi pengawasan oleh Kompolnas dan juga Parlemen," ucap Dimas.
Baca juga: Eddy Soeparno Apresiasi 100 Hari Kinerja Pemerintah: Prabowo Menjawab Keraguan dengan Pencapaian
Pengawasan DPR Dinilai Lemah
Ia memandang DPR juga masih lemah dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah menuju 100 hari Pemerintahan Prabowo - Gibran.
Dimas mencontohkan dalam beberapa kasus yang melibatkan Polri dan mencuat di publik, DPR hanya memanggil sejumlah pihak untuk meminta klarifikasi dan keterangan dalam skema Rapat Dengar Pendapat.
Dalam kasus penembakan yang menyebabkan tewasnya siswa SMK di Semarang contohnya, ia mencatat tidak ada langkah signifikan soal perbaikan institusi kepolisian.
Menurut dia, lemahnya peran parlemen terkait dengan komposisi dan konstelasi partai politik di DPR yang mengindikasikan kekuatan yang tidak merata di mana didominasi koalisi pemerintahan KIM Plus.
"Itu juga masih mengindikasikan bahwa ada kelemahan di parlemen dalam menjadi penyeimbang terhadap kekuatan dari eksekutif atau pemerintah," ucap dia.
"Jadi sebatas kemudian menjalankan fungsi-fungsi tanpa kemudian dapat mengimbangi pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan itu atau fungsi-fungsi dalam pengaduan masyarakat kemudian untuk kemudian dapat menekan pemerintah dalam melakukan proses-proses yang seharusnya dilakukan gitu ya," kata dia.
Baca juga: 100 Hari Prabowo-Gibran, 80,9 Persen Rakyat Puas, Peneliti Litbang Kompas: Ada Harapan Masyarakat
Lembaga Independen Negara "Dikucilkan"
Dimas memandang, lembaga-lembaga negara yang sedianya menjalankan fungsi pengawasan dalam 100 hari pemerintahan Prabowo - Gibran bernasib tidak jauh berbeda dengan zaman pemerintahan Jokowi - Ma'ruf.
Lembaga-lembaga independen negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Pelindungan Anak Indonesia, Komnas Disabilitas, Ombudsman, atau Kompolnas menurutnya masih "dikucilkan".
Menurut dia lembaga-lembaga itu hanya punya kewenangan dalam memberikan rekomendasi.
"Menurut kami ini juga menjadi salah satu faktor terjadinya impunitas," kata dia.
Menurut Dimas fungsi pengawasan yang dilakukan lembaga independen negara sangatlah krusial.
Dimas mengatakan di beberapa negara-negara demokratis lainnya pengawasan negara oleh lembaga independen sangat-sangat penting karena mereka menjadi salah satu alternatif ketika pernyataan negara bertentangan dengan fakta-fakta atau dengan keadilan untuk korban.
"Tapi di Indonesia keberadaan dari lembaga independen negara ini ditekan, sehingga dihadapkan pada suatu kualitas, keluaran, atau suatu kualitas rekomendasi yang sangat-sangat tidak bisa diterapkan oleh pemerintah," ungkap Dimas.
Baca juga: Data Jadi Elemen Krusial, Praktisi Komunikasi Politik Ipang Wahid: Bisa Ubah Persepsi dalam 100 Hari
Survei Litbang Kompas
Dilansir dari Kompas.com, di sisi lain hasil Survei Litbang Kompas menunjukkan kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran di bidang Politik dan Keamanan (Polkam) dinilai paling memuaskan dibandingkan bidang lainnya.
Manajer Riset Litbang Kompas, Ignatius Kristanto, mengatakan hasil riset yang digelar pada 4 sampai 10 Januari 2025 menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap bidang tersebut mencapai 85,8 persen.
Hal itu disampaikannya saat memaparkan survei "Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran" secara virtual pada Jumat (17/1/2025).
"Ini kalau kita lihat per bidang, jadi di politik dan keamanan paling tinggi ya, 85,8 persen," ujar Kris.
Ia mengatakan tingkat kepuasan pada bidang itu lebih tinggi dibandingkan bidang kesejahteraan sosial 83,7 persen; ekonomi 74,5 persen; dan penegakan hukum 72,1 persen.
Meski menempati posisi paling tinggi, lanjutnya, kenaikan tingkat kepuasan di bidang politik dan keamanan sebenarnya tidak terlalu signifikan.
Bila dibandingkan tingkat kepuasan pada Juni 2024 atau saat dipimpin Presiden Ke-7 Joko Widodo, maka tingkat kepuasan pada politik dan keamanan hanya naik 0,3 persen.
Lonjakan paling tajam, justru terjadi pada bidang hukum dengan angka kepuasan dari 57,4 persen pada Juni 2024 menjadi 72,1 persen pada Januari 2025 atau bertambah 14,7 persen.
"Yang naik drastis adalah penegakan hukum ini, dari pemerintahan Jokowi terakhir itu 57,4 melonjak ke 72,1 karena isu korupsi yang gencar ini ditangkap-tangkap itu," kata Kris.
Survei Litbang Kompas dilakukan melalui wawancara tatap muka ini diselenggarakan dari tanggal 4 sampai 10 Januari 2025.
Sebanyak 1.000 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi Indonesia.
Tingkat kepercayaan 95 persen dengan “margin of error” penelitian +/- 3,10 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.
Jokowi Ikut Bicara soal Wapres Gibran Tak Hadiri Pelantikan Menteri Baru: Kunjungan ke Papua Nugini |
![]() |
---|
Prabowo Pertama Kali ke Sidang Umum PBB, Indonesia Punya Suara di Forum Dunia? |
![]() |
---|
Nasib Pilu Produsen Alsintan Madiun: Jokowi Janji Beli 1.000 Unit 10 Tahun Lalu, Kini Malah Merugi |
![]() |
---|
BREAKING NEWS Prabowo Tunjuk Dony Oskaria Sebagai Plt Menteri BUMN |
![]() |
---|
Jokowi Blak-blakan Soal Reshuffle Kabinet: Wapres Tidak Ikut Campur, Sepenuhnya Kewenangan Presiden |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.