Minggu, 5 Oktober 2025

Relokasi di Pulau Rempang

Soal Konflik di Pulau Rempang, Komnas HAM: Intimidasi Terhadap Masyarakat harus Ditindak Tegas

Pembiaran terhadap kekerasan dan intimidasi merupakan bentuk pelanggaran HAM dan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik sosial di Pulau Rempang.

Penulis: Gita Irawan
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Warga mengikuti Aksi Bela Rempang di kawasan Patung Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (20/9/2023). Massa dari Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) tersebut menolak penggusuran paksa warga untuk proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kota Batam dan mendesak pemerintah untuk mengembalikan hak rakyat atas tanah tempat tinggal mereka. Pembiaran terhadap kekerasan dan intimidasi merupakan bentuk pelanggaran HAM dan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik sosial di Pulau Rempang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Jumat (22/9/2023).

"Meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN (Proyek Strategis Nasional) berdasarkan Permenko RI Nomor 7 tahun 2023," kata Uli.

Konferensi Pers Komnas HAM RI di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Jumat (22/9/2023) terkait temuan awal proses pemantauan dan penyelidikan terkait konflik di Pulau Rempang. 
Konferensi Pers Komnas HAM RI di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Jumat (22/9/2023) terkait temuan awal proses pemantauan dan penyelidikan terkait konflik di Pulau Rempang.  (Tribunnews/Gita Irawan)

Kedua, kata Uli, Komnas HAM merekomendasikan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL (hak pengelolaan atas tanah) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi tersebur belum clear and clean.

Ketiga, lanjut Uli, Komnas HAM RI menyampaikan bahwa penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) jo. Komentar Umum Nomor 7 tentang KIHESB.

Dalam aturan tersebut, kata Uli, pertama menyatakan kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain.

Kedua, lanjut dia, apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, pemerintah dan/atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga yang terdampak.

Ketiga, kata Uli, pemerintah dan/atau korporasi wajib memberikan kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip HAM.

Keempat, proses penggusuran harus sesuai standar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 

Ia juga menjelaskan ada tiga instrumen yang harus diperhatikan ketika melakukan penggusuran yaitu musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan.

Selain itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika proses penggusuran dilakukan yaitu perlindungan prosedural, tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.

"(Sikap) Keempat, pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan PSN," kata Uli.

Kondisi terkini di Pulau Rempang Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri, Kamis (7/9/2023).
Kondisi terkini di Pulau Rempang Galang, Kota Batam, Provinsi Kepri, Kamis (7/9/2023). (Tribun Batam/Eko Setiawan)

Kelima, kata dia, Negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi. 

Kebijakan Negara, lanjut dia, tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional. 

Negara, lanjut dia, tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.

"(Sikap) Keenam, (pemerintah) tidak boleh menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City," kata dia.

Ketujuh, lanjut dia, Kepolisian agar mempertimbangkan menggunakan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang.

"Kedelapan, kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang," sambung dia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved