Soal Partisipasi Publik RUU Polri, Mardani Ali Sera: Harus Dibahas Seksama dan Hati-hati
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, buka suara mengenai pembahasan revisi undang-undang (RUU) Polri.
"Sekarang ada revisi UU, tapi isinya bukan reformasi. Isinya adalah penambahan kekuasan," ujarnya.
Terkait hal itu, menurut Bivitri, kewenangan tak bisa dilepaskan dari pengawasan. Terlebih, Indonesia adalah negara hukum. Dimana inti dari negara hukum adalah pembatasan kekuasaan dan HAM.
"Dengan itu, setiap kewenangan negara harus memerhatikan dua aspek ini. Kalau tidak, tidak ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang. Yang terjadi selama ini minim pengawasan, minim pertanggungjawaban," tuturnya.
Baca juga: 13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan
Dalam kesempatan yang sama, Bivitri menyoroti adanya newspeak atau bahasa yang mengandung ambigu, yang digunakan dalam RUU Polri.
"Kalau kita membicarkaan kepolisian itu enggak bicara like and dislike (suka atau tidak suka). Kepolisian itu jelas dibutuhkan di negara ini maupun di semua negara. Tapi kita harus lihat wajahnya yang nyata itu seperti apa," kata Bivitri.
Ia menyinggung beberapa newspeak. Pertama, penggunaan kata 'pembinaan'
"Kata pembinaan ini maknanya apa? Kenapa harus dibina? Siapa yang dibina? Dibina dengan apa?" kata Bivitri.
Kedua, penggunaan kata 'ketertiban'. Ia mencontohkan praktik kata ketertiban itu dengan kasus kematian Afif Maulana, pelajar SMP di Padang yang tewas diduga dianiaya polisi.
"Pada umumnya, ada anggapan bahwa pokoknya harus tertib. Makanya anak kecil, Afif dan teman-temannya, dia mau tawuran, melanggar ketertiban kah tawuran? Iya. Tapi apakah sampai harus diperlakulan seperti itu, kan tidak," ucapnya.
"Tapi kan timbul anggapan bahwa pokoknya asal tertib, semua libas. Itu yang mengerikan dengan newspeak seperti ini," tambahnya.
Baca juga: Pengamat Militer Nilai RUU Polri Bisa Bangkitkan Ide Bentuk Kementerian Hankam
Ketiga, kata Bivitri, soal penggunaan kata 'kepentingan nasional'.
"Apa itu kepentingan nasional? Apakah kepentingan saya? Kepentingan seluruh bangsa ini? Kepentingan korporasi?" tutunya.
Ia menjelaskan, salah satu asas pembentukan perundang-undangan (PPP) adalah kejelasan rumusan atau tidak adanya ambiguitas.
"Kita harus ingat salah satu asas dalam pembentukan perundang-undangan, kejelasan rumusan. Pasal 5 huruf f UU PPP," katanya.
Ia menjelaskan mengapa asas itu diatur dalam UU. Katanya, jika ada penggunaan kata-kata yang tidak jelas dalam ketentuan UU tertentu, maka akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas oleh pihak tertentu.
"Dia akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas untuk kepentingan orang-orang yanh punya kekuasaan. Kekuasaan itu dari power politik maupun modal ya. Akhirnya di situlah terjadi yang kita namakan pasal-pasal karet."
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.