13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan
Ia memberikan setidaknya 13 poin catatan kritis terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan UU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Malvyandie Haryadi
Sembilan, terkait dengan kewenangan polisi untuk melakukan penindakan pemblokiran, pemutusan, perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Masalahnya, kata dia, yang pertama luasnya definisi ruang siber.
Kedua, dalam jurisprudensi terkait dengan konflik di Papua sudah terdapat putusan pengadilan yang menyatakan melarang pemutusan akses internet.
"Ini tolong diperhatikan juga. Jadi harus sangat spesifik. Kenapa ya langsung melakukan pemblokiran, penindakan itu? Di mana irisannya dengan Kemenkominfo? Dan apakah ini bisa langsung dilakukan oleh anggota Polisi sendiri? Tidak perlu misalnya adanya putusan pengadilan kalau mau memblokir. Ini kan sama dengan menyita ya kalau dalam barang-barang secara fisik," kata dia.
Selain itu, menurutnya harus disesuaikan dengan fungsi, kompetensi, dan otoritas dari kepolisian sendiri.
Dengan demikian, kalau ketentuan tersebut dirumuskan sebagaimana dalam draf RUU Polri maka akan menimbulkan kesan bahwa polisi berada di atasnya lembaga lain yang menangani informasi dan telekomunikasi.
"Jadi ada potensi membatasi kebebasan berekspresi tadi. Saya tahu maksudnya mungkin bukan begitu, tetapi cara anda merumuskannya seakan-akan mau membatasi kebebasan berbicara berpendapat yang sekarang sudah, kok agak mulai-mulai ya. Buat saya agak repot juga ini," kata dia.
Sepuluh, terkait kewenangan polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif (RJ).
Menurutnya, belum ada kesamaan pandang tentang apa itu restoratif justice baik di kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
"Oleh karena itu buat saya sebaiknya yang terbaik didrops saja ini. Karena kita belum punya UU tentang RJ. Sudah saya usulkan," kata dia.
Ke-11, ia mengkritisi pasal tentang kegiatan intelkam Polri.
Menurutnya, betul bahwa kegiatan intelijen keamanan Polri mengacu pada UU Intelijen Negara.
Akan tetapi ketika masuk kewenangannya, kata dia, harus berhati-hati.
"Yaitu melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulan terhadap setiap hakikat ancaman. Dan ancaman itu sangat luas sekali termasuk keberadaan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi HAM," kata dia.
"Sampai mana batasnya? Karena ancaman itu sangat luas. Ancaman itu bisa fisik, bisa non fisik. Di mana batasnya? And who's going to do that? Sekarang kita punya 430 ribu anggota Polisi. Apakah cukup? Karema kalau kita lihat itu setiap anggota polisi menangani 11 ribu masyarakat. Jadi sepertinya tidak mungkin untuk melakukannya," sambung dia.
Guru Besar UNM Prof Harris Sebut Sekolah Rakyat Jadi Pemutus Kemiskinan Antargenerasi |
![]() |
---|
Rizki Briandana: Nasionalisme Harus Dikelola dengan Pendekatan Komunikasi yang Relevan dengan Zaman |
![]() |
---|
Pakar Hukum Pidana Sebut PK Tak Bisa Hentikan Eksekusi Silfester Matutina |
![]() |
---|
Ganjar Razuni Dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik, Hendrik Yoku: Menginspirasi Generasi Muda |
![]() |
---|
Tom Lembong Laporkan 3 Hakim, Pakar Sebut Hakim Belum Tentu Salah: Bisa Saja dari Proses Awalnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.