Sabtu, 4 Oktober 2025

Jaga Kepercayaan Publik, Hakim MK Tetap Fokus Kerja di Tengah Terpaan Dugaan Pelanggaran Etik

MK memastikan tetap akan fokus dan kerja-kerja pihaknya tidak terganggu. Terkhusus terkait gugatan di Pemilu Serentak 2024 nanti.

(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini tengah diterpa isu dugaan pelanggaran etik akibat adanya substansi putusan suatu perkara uji materiil UU yang diduga berubah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini tengah diterpa isu dugaan pelanggaran etik akibat adanya substansi putusan suatu perkara uji materiil UU yang diduga berubah.

Namun begitu, MK memastikan tetap akan fokus dan kerja-kerja pihaknya tidak terganggu. Terkhusus terkait gugatan di Pemilu Serentak 2024 nanti.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua MK, Arief Hidayat yang dalam jumpa pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2023).

Baca juga: Hakim: Sistem Proporsional Terbuka Paling Ramai Digugat Dalam 3 Tahun Terakhir di MK

"Mohon kesabaran dan pengertiannya, kita akan segera menindaklanjuti apa yang diinginkan oleh publik, menyelesaikan persoalan yang kita anggap sangat penting untuk segera diselesaikan. Karena kita para hakim bersembilan sepakat, yang terpenting menjaga kepercayaan publik kepada MK," ujar Arief Hidayat.

"Apalagi di tengah situasi MK harus menyiapkan diri untuk bisa menjadi lembaga penyelesaiaan dalam rangkaian pesta lima tahun sekali, yaitu Pilpres, Pileg dan Pilkada yang akan berlangsung pada tahun-tahun yang akan datang," sambungnya.

Selain itu Arief juga memastikan sekarang ini MK harus menyelenggarakan berbagai pekerjaan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan rutin, yaitu menyelesaikan berbagai pengujian UU yang cukup krusial. 

Oleh karena itu, Arief memohon dukungan dari publik secara umum dan masyarakat pemerhati hukum, khususnya pemerhati MK, untuk bisa menjadi lembaga yang betul-betul mampu menyelesaikan tugasnya.

"Yaitu sebagaimana kewenangan dan fungsi dari MK yang diatur dalam UUD 1945 dan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku," tuturnya. 

Dikutip dari Kompas.com, sebelumnya perubahan substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK diduga disengaja. 

Baca juga: Sidang Uji Materiil di MK, Pemerintah Sebut Sistem Proporsional Terbuka Terbaik Diterapkan di Pemilu

Advokat selaku pemohon dalam perkara itu berpandangan, perubahan itu tidak mungkin sekadar salah ketik atau typo karena tertuang di risalah sidang yang merupakan transkrip dari pembicaraan dalam sidang. 

"Saya yakin ini enggak mungkin typo karena bukan di putusan doang, di risalah. Risalah itu adalah transkrip kata-kata pada saat sidang. Tidak pernah saya menemukan risalah tuh berubah juga, beda dari yang diucapkan di sidang," kata Zico saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/1/2023). 

Dugaan perubahan ini ditemukan Zico saat mendapati adanya perbedaan antara frasa yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang berbeda dengan risalah sidang yang diterimanya, yakni dari "dengan demikian, ..." menjadi "ke depan, ...". 

"Pada saat dibacakan itu hakim konstitusi Saldi Isra A, 'dengan demikian hakim konstitusi hanya bisa diganti jika sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU MK'," ujar Zico. 

"Tapi, di putusan dan risalah sidang, risalah lho, notulen sidang itu, itu kata-katanya 'ke depan', 'ke depan hakim konstitusi hanya boleh diganti sesuai dengan pasal 23'," katanya lagi. 

Secara utuh, putusan yang dibacakan Saldi Isra adalah, “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…”. 

Baca juga: Uji Materi di MK, PDIP Pilih Sistem Proporsional Tertutup Pemilu 2024, Ini Penjelasan Arteria Dahlan

Sedangkan, dalam salinan putusan dan risalah persidangan tertulis: “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…”.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved