Kontroversi ACT
PPATK Stop Transaksi 60 Rekening ACT Selama Pendalaman Kasus Dugaan Aliran Dana ke Teroris
PPATK melakukan penghentian sementara transaksi di 60 rekening atas nama Yayasan ACT, diduga beresiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme
TRIBUNNEWS.COM - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan penghentian sementara transaksi di 60 rekening atas nama Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Penghentian ini dilakukan atas analisis temuan PPATK terkait dana masuk dan dana keluar dari ACT yang jumlahnya cukup besar.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, Rabu (6/7/2022).
"PPATK menghentikan sementara transaksi atas 60 rekening atas nama entitas yayasan tadi (ACT) di 33 penyedia jasa keuangan."
"PPATK memang sudah melakukan kajian terhadap database PPATK dan itu sudah dilakukan sejak lama dan PPATK melihat bahwa terkait dengan dana masuk dan dana keluar dari ACT pada pada periode yang dikaji oleh PPATK itu, nilainya (transaksi ACT) memang luar biasa besar."
"PPATK ya telah melakukan analisis terkait dengan entitas tersebut (ACT) itu sudah lakukan sejak lama 2018-2019 sampai hari ini," kata Ivan dikutip dari Kompas Tv.
Baca juga: BNPT Dalami Indikasi Aliran Dana Mencurigakan dari ACT ke Anggota Al Qaeda di Turki
PPATK, kata Ivan juga mendalami terkait dengan struktur pemilikan yayasan ACT, termasuk mendalami cara mengelola pendanaannya.
Sebagaimana diketahui, perputaran dana masuk dan keluar yayasan ACT mencapai Rp 1 triliun dalam setahun.
"Jadi dana masuk dan keluar itu per tahun itu perputarannya sekitar Rp 1 triliun jadi bisa dibayangkan itu memang banyak."
"Memang PPATK melihat bahwa entitas ini memiliki keterkaitan dengan beberapa kegiatan usaha yang dimiliki langsung oleh pendirinya, ada beberapa PT di situ dan pendirinya termasuk orang yang terafiliasi karena menjadi salah satu pengurus," lanjut Ivan.

Bahkan, selain yayasan ACT, pendiri juga mengelola yayasan-yayasan lain.
Baik itu terkait dengan zakat, kurban dan tentunya terkait dengan wakaf.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Keputusan Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendy Cabut Izin ACT, Otoriter
"Lalu di bawahnya ada lapisan perusahaan lagi yaitu terkait dengan investasi, lalu di situlah di bagian bawah itulah kemudian ada yayasan ACT," kata Ivan.
Berdasarkan laporan periode 2014-2020, PPATK melihat ada sekitar 10 negara yang melakukan transaksi besar.
Data mencatatkan ada lebih dari 2.000 kali pemasukan dari entitas asing kepada yayasan ACT ini, dengan angkanya di atas Rp 64 miliar.
Sementara dana keluar entitas ini keluar negeri itu tercatat lebih dari 450 kali dengan jumlah total Rp 52 miliar.
"Jadi memang apa kegiatan-kegiatan dari entitas yayasan ini dengan aktivitas di luar negeri."
"(Dana masuk dari)10 negara contohnya misalnya ada terkait dengan ini ya ini Jepang, Turki, Inggris, Malaysia Singapura, Amerika, Jerman, Hongkong, Australia, Belanda dan lain-lain."
"(Dengan) angkanya (pengiriman) paling tinggi itu adalah hampir Rp 21 miliar."
"Kemudian 10 negara terbesar yang terafiliasi dana keluar adalah itu Turki, England, China, dan Palestina," jelas Ivan.
Baca juga: Presiden ACT Ibnu Khajar Yakin Kemensos Mudahkan Pembatalan Surat Pencabutan Izin PUB
Selain yayasan ACT, beberapa individu di dalam yayasan juga secara sendiri-sendiri melakukan transaksi ke beberapa negara dan sejumlah pihak.
"Misalnya, salah satu pengurus melakukan transaksi pengiriman dana periode 2018 ke 2019 hampir senilai Rp 500 juta ke beberapa negara seperti ke Turki, Bosnia, Albania dan India."
"Ada juga salah satu karyawan, selama periode 2 tahun, melakukan transaksi pengiriman dana ke negara-negara beresiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme seperti beberapa negara yang ada di sini dan 17 kali transaksi dengan nominal 1,7 miliar antara 10 juta sampai dengan 552 juta," sambung Ivan.
Yang perlu ditindak lanjuti, kata Ivan, yayasan ACT diduga terlibat aktivitas terlarang di luar negeri.
"Ada beberapa transaksi lainnya yang perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut khususnya oleh para penegak hukum terkait karena diduga terkait dengan aktivitas terlarang di luar negeri sana, baik langsung maupun tidak langsung."
"Jadi kita melihat bahwa masing-masing individu juga melakukan kegiatan sendiri-sendiri ke beberapa negara di dunia," tegas Ivan.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)