Wamenkumham: Aktivis HAM Itu Bertolak Belakang Dengan Aktivis Antikorupsi Soal Pidana Mati
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kebanyakan bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi soal pidana mati.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kebanyakan bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi soal pidana mati.
Hal ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Eddy O.S. Hiariej, saat mengisi webinar terkait “Indonesia Way” Pembaruan Politik Hukum Mati melalui RKUHP, Selasa (24/5/2022).
Ia menjelaskan alasan pemerintah berkomitmen untuk memberikan jalan tengah yang bersifat ‘Indonesia Way’ bagi kelompok yang pro dan kontra terhadap pidana mati.
Pasalnya, persoalan pidana mati ini adalah persoalan yang secara hukum itu sangat penuh perdebatan.
“Karena apa, kita akan dihadapkan pihak yang ingin menghapus pidana mati dan pihak yang ingin tetap mempertahankan pidana mati,” kata Wamenkum HAM yang juga menjadi Ketua Umum Tim Perumus RKUHP.
Eddy mengatakan bahwa teori dasar yang digunakan oleh kedua pihak ini sama kuatnya.
Oleh karena itu dengan mengutip pernyataan dari pak Muladi, bahwa dalam RKUHP yang akan dibahas di DPR adalah pidana mati yang Indonesia way atau cara Indonesia.
“Saya kasih contoh konkrit saja teman-teman, aktivis HAM itu bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi. Aktivis antikorupsi itu selalu berteriak pengen koruptor dihukum mati, tetapi aktivis HAM itu sebaliknya tidak boleh ada pidana mati,” kata Eddy.
Baca juga: Kemenkumham: RKUHP Dibahas Setelah Revisi UU Cipta Kerja Rampung
“Artinya apa, sesama teman-teman aktivis saja tidak ada satu kata soal pidana mati ini,” lanjutnya.
Hal kedua yang dijelaskan Wamenkum HAM, bahwa persoalan pidana mati ini bukan persoalan hukum, tapi ada beberapa persoalan, yang diantaranya ada persoalan religi, sosial, dan politik.
Pada kisaran tahun 2016, telah dilakukan survei terkait pidana mati terhadap 100 responden.
Dari survei tersebut ditemukan hasil yang intinya adalah 80 % setuju dengan pidana mati.
Namun, terhadap responden yang sama, terkait pertanyaan: ‘Apakah saudara setuju kalau teroris dijatuhkan pidana mati?’ dari 80 % yang setuju dengan pidana mati itu tidak setuju teroris dipidana mati.
“Yang setuju itu hanya 27 persen. Artinya apa, ini bukan hanya masalah hukum, ada persoalan religi di sini, ada persoalan politik, ada persoalan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu kita mengambil jalan tengah (Indonesia way) dalam merumuskan pidana mati, satu adalah pidana khusus, bukan pidana pokok, bukan pidana tambahan,” ujarnya.
Eddy menjelaskan, disebut pidana khusus, karena pidana harus secara selektif dijatuhkan dan ada masa percobaan.