Tak Hanya Indonesia, Aturan Pengeras Suara Masjid Juga Diberlakukan di Arab Saudi dan Mesir
Negara muslim seperti Arab Saudi dan Mesir juga terlebih dahulu mengeluarkan aturan yang sama.
Namun menurut anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, aturan tersebut secara substansi mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat seperti di wilayah pedesaan.
“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yagn lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid,” kata Bukhori, Selasa (22/2/2202).
“Selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individiu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum, tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” tambahnya.
Bukhori mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan.
Sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara yang berasal dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.
"Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ujarnya.
Namun demikian, Bukhori mengamini bahwa fenomena yang dianggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk di lingkungan perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising.
Sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan.
“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan," tuturnya.
"Meski demikian, dalam mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu sampai dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” lanjut Bukhori.
Sumber: Saudi Gazette/Egypt Today/Kompas.TV/Tribun Solo