Virus Corona
Menkes Ungkap Kesalahan Cara Testing Covid-19 di Indonesia hingga Ragukan Data Vaksinasi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bicara soal kesalahan Indonesia dalam melakukan testing Covid-19 hingga tak percaya data Kemenkes.
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin blak-blakan menyebut tindakan melakukan tes Covid-19 atau testing di Indonesia selama ini salah.
Hal itu membuat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia semakin bertambah, meski jumlah testing telah melampaui target WHO.
Ia menyebut, masifnya testing yang selama ini dilakukan adalah merujuk pada testing mandiri.
Misalnya, saat dirinya hendak bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia harus melakukan tes swab PCR.
Baca juga: Tak Ingin Ada Monopoli Vaksin, Menkes: Jangan Sampai Golongan Kaya Dapat Lebih Awal, Pikirkan Rakyat
Bahkan, ia bisa melakukan tes swab PCR hampir lima kali dalam seminggu.
"Kita tuh nggak disiplin. Cara testing-nya kita salah. Testingnya banyak, tapi kok naik terus? Habis (yang) di tes orang kayak saya."
"Setiap kali mau ke Presiden di tes, (ke) Presiden di tes, tadi malam, barusan saya di swab."

"Seminggu bisa lima kali swab kalau masuk Istana. Emang bener (testing) gitu? Testing kan nggak gitu harusnya kan," ujar Budi Sadikin dalam forum diskusi daring bersama Komite Pemulihan Ekonomi dan Transformasi Jabar pada Rabu (20/1/2021) lalu.
Menkes menyebut, cara testing tersebut tidak efektif dan tidak sesuai dengan ilmu epidemiologi.
Pasalnya, yang seharusnya dites adalah pasien suspek Covid-19.
Baca juga: Ditarget Presiden Jokowi 12 Bulan Selesaikan Vaksinasi Covid-19, Menkes Akan Libatkan RS Swasta
"Testing itu kan, testing epidemiologi ya aku diajarin tuh sama temen-temen dokter, bukan testing mandiri."
"Yang dites tuh orang yang suspek, bukan orang yang mau pergi kayak Budi Sadikin mau menghadap Presiden."
"Nanti 5 kali (di tes) standar WHO kepenuhi tuh, 1 per 1.000 per minggu, tapi nggak ada gunanya testingnya secara epidemiologi," tutur mantan Wamen BUMN ini.

Oleh karena itu, Budi menyebut cara testing yang salah ini yang harus diperbaiki.
Namun, ia pun menyadari tidak mudah untuk memperbaikinya sendirian.
Ia berharap dapat kerja sama dari semua pihak guna mewujudkan testing yang benar secara epidemiologi.
Baca juga: Pesan Menkes Pada Orang Kaya, Ingat Empati Terhadap Rakyat Kecil, Sabar Tunggu Vaksin Covid-19
"Hal hal yang gitu-gitu yang mesti diberesin. Sebagian ada di tempat saya urusan testing tracingnya, walaupun saya mesti minta bantuan Kang Emil (Gubernur Jawa Barat)."
"Karena sekarang kan puskesmas tidak di bawah saya padahal saya harus pakai itu puskesmas."
"Gubernur bisa bilang, bukan di bawah saya juga itu, di bawah bupati wali kota. Kan jadi tambah complicated ini dengan UU Otonomi Daerah," ujarnya.
Menkes Tak Percaya Data Kemenkes untuk Vaksinasi
Selain tentang testing Covid-19, Menkes juga menyoroti distribusi dan penyiapan strategi vaksinasi.
Adapun, distribusi dari vaksin Covid-19 ini erat kaitannya dengan data jumlah sarana kesehatan yang menyanggupi untuk melakukan vaksinasi.
Namun, ia mengaku tidak percaya pada data yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Menurutnya, sudah banyak pihak yang tertipu dengan data dari Kemenkes terkait distribusi vaksin.
Baca juga: Menkes: Indonesia Beruntung Amankan 600 Juta Vaksin Covid-19
Budi mencontohkan pernah diberi data jumlah puskesmas dan rumah sakit (RS) oleh Kemenkes.
"Saya nggak mau ketipu kedua kali. Ini dibilang secara agregat cukup jumlah puskesmas dan rumah sakit (RS) untuk menyuntik (vaksin, red).
"RS pemerintah saja, tidak usah melibatkan pemda, dengan RS swasta cukup, ternyata nggak cukup," kata Budi.
Budi kemudian menelusuri data sarana kesehatan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.

Dia mengungkapkan, ada sekitar 60 persen kapasitas di seluruh kabupaten/kota yang ternyata tidak cukup untuk menyuntik vaksin Covid-19.
"Kalau cuma di Bandung yang RS dan puskesmas penuh, nyuntik tetap bisa. Tapi, yang di Puncak Jaya, Kalteng, Kalsel dan lainnya, bisa baru 3.000 hari atau 8 tahun baru selesai (vaksinasi)."
"Jadi, nanti di kabupaten kodya akan diperbaiki strategi vaksinasinya," ungkapnya.
Mengantisipasi agar tidak salah data lagi, Menkes pun mengaku akan menggunakan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk vaksinasi.
Baca juga: Kemenkes Ingatkan Perlu Disiplin Protokol K3 Guna Cegah Covid-19 di Perkantoran
Sebab, KPU memiliki data yang masih aktual dan juga menyediakan data terkini masyarakat yang berusia di atas 17 tahun.
"Saya akan perbaiki strategi vaksinasinya. Supaya tidak salah. Saya sudah kapok, saya nggak mau lagi pakai data Kemenkes."
"Saya ambil data KPU, manual itu kemarin baru pemilihan (Pilkada 2020), itu kayaknya yang paling current, basenya rakyat di atas 17 tahun," jelasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)