Komnas Perempuan Soroti Masih Terjadinya Kekerasan Seksual di Ruang Pendidikan
Kata Komnas Perempuan soal kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di Indonesia
Sejumlah institusi ini juga berbasis agama.
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan terbanyak yang diadukan, yaitu mencapai 45 kasus (88 persen), yang terdiri dari rudapaksa, pencabulan dan pelecehan seksual.
Ada juga pengaduan tentang kekerasan fisik, kekerasan psikis dan diskriminasi sebanyak 5 kasus (10 persen).
Di tingkat universitas, modus untuk melakukan kekerasan seksual yakni dengan relasi kuasa antara dosen sebagai pembimbing skripsi atau penelitian terhadap mahasiswi.
Sedangkan di lingkungan pesantren, tindakannya berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku, atau dengan kata lain terjadi pemaksaan perkawinan.
Ada pula yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab atau tidak akan lulus dan hapalan akan hilang.
Di tingkat SMA/SMK, masih terdapat korban kekerasan seksual dikeluarkan dari sekolah atas perkosaan yang menimpanya.
Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru/ustaz (43 persen atau 22 kasus), kepala sekolah (15 persen atau 8 kasus), dosen (10 kasus atau 19 persen), peserta didik lain (11 persen atau 6 kasus), pelatih (4 persen atau 2 kasus) dan pihak lain (5 persen atau 3 kasus).
Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan termasuk tokoh masyarakat.
Hambatan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual adalah impunitas terhadap pelaku di lingkungan pendidikan sendiri yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku demi menjaga nama baik institusi.
Jika korban menempuh penyelesaian pidana, terjadi penundaan berlarut.
Misalnya saja dalam kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang yang menimbulkan kelelahan baik bagi korban maupun pendamping, dan menyebabkan korban-korban lain memilih bungkam atas kekerasan seksual yang menimpanya.
Selain itu, karena kekosongan hukum karena lembaga pendidikan belum memiliki Prosedur Standar Operasional untuk Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Korban.
Komnas Perempuan berpendapat kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan negara Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sebagai ruang belajar dan ruang aman bagi peserta didik.
Dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yakni diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.