Jumat, 3 Oktober 2025

UU Cipta Kerja

Kritik Fadli Zon dan Fahri Hamzah Terhadap UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan DPR

Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI, Senin (5/10/2020) memicu gejolak di masyarakat.

Penulis: Adi Suhendi
Tribunnews.com
Fadli Zon dan Fahri Hamzah 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI, Senin (5/10/2020) memicu gejolak di masyarakat.

Buruh dan sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Tidak terkecuali para politikus seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang selama ini selalu mengkritisi kebijakan pemerintah.

Lalu bagaimana respons kedua tokoh tersebut menyikapi disahkannya UU Cipta Kerja?

Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja tidak tepat waktu dan sasaran.

Fadli Zon mengatakan, UU Cipta Kerja disebut tidak tepat waktu karena Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19.

Baca: Tolak UU Cipta Kerja, 40 Ribu Buruh dari Karawang Bakal Geruduk DPR dan Istana

Sehingga fokus semua pihak saat ini adalah isu kesehatan dan kemanusiaan seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Tingkat kematian dokter kita saat ini tertinggi di Asia, setidaknya ada 130 dokter. Menurut IDI, meninggal akibat menangani Covid-19 sejauh ini. Angka-angka ini tentu saja tak bisa disepelekan," kata Fadli Zon dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

"Begitu juga dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia, berada di atas rata-rata dunia. Artinya, ada hal lain yang jauh lebih serius untuk ditangani dibanding omnibus law," sambung Fadli.

UU Cipta Kerja pun dinilai Fadli Zon tidak tepat sasaran.

Menurutnya jika tujuan dari UU Cipta Kerja untuk mendatangkan investasi seharusnya hal-hal yang menghambat investasi yang perlu ditertibkan.

Baca: Yasonna Laoly Akui Proses Pembahasan UU Cipta Kerja Relatif Cepat

Menurut dia, berdasarkan World Economic Forum (WEF), kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan.

"Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung," ucap Fadli.

Karena itu, Fadli Zon dapat memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law.

"Mereka melihat kalau kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok," kata Anggota Komisi I DPR itu.

Dalam catatannya, kata Fadli, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh.

Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.

Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi).

Padahal, kata Fadli, menurut data lapangan, besaran UMP pada umumnya adalah di bawah UMK.

Baca: Mendagri : UU Cipta Kerja Permudah Masyarakat Buka Usaha di Daerah

"Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka," ujar Fadli.

Selain itu, Fadli juga melihat hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu, kini tidak ada lagi.

"Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," ucapnya.

Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai pembuatan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja melanggar konstitusi.

Sehingga, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan seluruh isi dari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.

Baca: Jangan Dipelintir Ya, Pekerja Habis Masa Kontrak Dapat Kompensasi di UU Cipta Kerja

"Omnibus law itu, otomatis jelas melanggar konstitusi karena prinsipnya dalam negara demokrasi itu, merampas hak undang-undang, itu tidak boleh," kata Fahri dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

"Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR," sambung Fahri.

Menurut, UU Cipta Kerja bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen, melainkan undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang.

Selain melangggar konstitusi, kata Fahri, UU Cipta Kerja juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas melanggar HAM.

"Ini bukan open policy, tapi legal policy. Undang-Undang Cipta Kerja dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat, sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi," kata Fahri.

Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-209 itu mengaku, tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknis.

"Mohon maaf, penasehat hukum dan tata negaranya Pak Jokowi kurang pintar. Pak Jokowi itu bukan lawyer atau ahli hukum, mestinya ahli hukum yang harus dengar Pak Jokowi," ucap Fahri.

"Ini Pak Jokowi-nya yang nggak mau dengar ahli hukum atau ahli hukumnya yang tidak mau dengerin Pak Jokowi. Tapi kelihatanya ada pedagang yang didengar oleh Pak Jokowi daripada ahli hukumnya," ujarnya.

Fahri berpendapat apabila UU Cipta Kerja nantinya dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, maka bisa menimbulkan kekacauan pada aturan lain yang terkait.

Sebab, Omnibus Law ini bukan tradisi Indonesia dalam membuat regulasi, sehingga akan sulit diterapkan.

Sebab itu, Fahri berharap Presiden Jokowi tidak otoriter dalam menerapkan UU Cipta Kerja.

Tetapi harus mengumpulkan semua pihak duduk satu meja dan berbicara mengenai undang-undang itu, agar publik bisa memililiki pemahaman yang sama dengan pemerintah.

"Tidak perlu otoriter, ajak semua ngobrol agar memahami kepentigan untuk akselerasi kita. Saya kira semua akan ikut mendukung," kata Fahri.

Fahri pun menyebut, pemeritah seharusya tidak perlu melibatkan DPR sejak awal dalam menuntaskan permasalahan Omnibus Law.

Cukup panggil seluruh stakeholder terkait, selesaikan secara sepihak di internal pemerintah, dan tidak perlu menerebos banyak undang-undang.

"Omnibus Law itu nanti akan dihajar terus karena bertentangan dengan publik dan buruh. Kasihan Pak Jokowi nanti diakhir jabatannya," ucap Fahri. (Tribunnews.com/ Seno)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved