PKB Anggap Intoleransi dan Radikalisme Persoalan Serius Bangsa
Salah satu faktor yang menggerakkan radikalisme adalah sempitnya pemahaman agama.
Editor:
Hasanudin Aco
Isu soal intoleransi, kata Jamhari, juga mendesak untuk dibicarakan.
Semua komponen bangsa termasuk masyarakat, pemerintah, parlemen dan kelompok masyarakat yang mempunyai hak untuk membuat undang-undang, budgeting, dan program bisa peduli terhadap penanggulangan masalah intoleransi.
"Sebab kalau tak ada kepedulian terhadap masalah intoleransi maka Indonesia akan bisa bahaya," katanya.
Temuan survei PPIM UIN, banyak anak muda yang masih duduk di bangku SMP, SMA, dan juga di perguruan tinggi mulai terpapar ide-ide intoleran.
"Guru-gurunya juga sama kurang toleran terhadap keberagaman dan perbedaan," urainya.
Sementara itu, CEO dan Founder Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, hasil survei nasional yang dilakukan Alvara pada Agustus 2019 lalu, menunjukkan bahwa potensi intoleransi itu justru menguat di kalangan anak muda.
Hal ini terutama disebabkan oleh ajaran agama yang mereka peroleh dari media sosial (medsos).
"Jadi ustad-ustad yang ada di medsos atau YouTube itu menjadi referensi keagamaan anak-anak muda di Indonesia, dan itu yang mereka terima adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan intoleransi kepada kelompok lain," urainya.
Karena itu, menurut Hasan, hal yang perlu dilakukan adalah pentingnya menghadirkan ustad-ustad dengan pemahaman moderat untuk lebih banyak aktif mengisi kajian-kajian di medsos.
Selain itu, literasi tentang keagamaan harus diperkuat.
"Karena semangat keagamaan anak muda sekarang itu luar biasa besar sehingga itu harus diimbangi dengan literasi dan ajaran-ajaran agama yang lebih moderat di kalangan anak-anak muda," tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Nadia Fairuza Azzahra mengatakan, UU Pesantren yang diinisiasi PKB dan disahkan pada September 2019 lalu, menjadi salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi paham radikalisme di kalangan pesantren.
"Undang-undang ini mengatur komitmen pesantren untuk menjalankan prektik-praktik Islam yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945," tuturnya.
Dalam upaya menangkal penyebaran paham radikal, menurut Nadia, juga diperlukan sistem "filterisasi" untuk membedakan pesantren-pesantren mana yang mengajarkan paham radikal.
Menurutnya, salah satu faktor yang menggerakkan radikalisme adalah sempitnya pemahaman agama.
Pemahaman agama di pesantren mengizinkan santri untuk mengakses kurikulum yang solid serta mengeliminasi interpretasi teks secara literal.
"Sekolah cenderung memupuk perilaku radikal ketika hanya mengajarkan interpretasi Islam yang tunggal," katanya.