Kaleidoskop 2019
Kaleidoskop 2019: Tahun Politik dan RUU Kontroversial di DPR
Parlemen yang merupakan salah satu episentrum politik di Indonesia menjadi soroton menuju penghujung 2019.
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2019 disebut tahun politik. Selain karena terdapat pesta demokrasi lima tahunan yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden, juga terdapat sejumlah persitiwa yang membuat hawa politik selalu hangat, satu diantaranya di parlemen.
Parlemen yang merupakan salah satu episentrum politik di Indonesia menjadi soroton menuju penghujung 2019. Bukan karena berubahnya peta koalisi partai politik usai Pemilu, melainkan karena pengesahan sejumlah RUU yang dinilai kontroversial.
DPR mengebut pembahasan RUU di penghujung masa sidang yang akhirnya disahkan sebelum pergantian periode masa jabatan. Diantarnya yakni Undang Perkawinan, undang-undang sumber Daya Air, Undang-undang Sistem Budaya Pertanian berkelanjutan, undang-undang pesantren, serta terkahir Undang-undang KPK yang menuai unjukrasa kaum pelajar.
Unjuk rasa mahasiswa yang memprotes disahkan RUU KPK tersebut bahkan berlangsung ricuh di sekitar kompleks Parlemen, Senan, Jakarta pada 23-24 September 2019.
Tidak hanya di DPR, unjukrasa terjadi di sejumlah daerah diantaranya Yogyakarta, Bandung, Semarang, Malang, Balikpapan, dan Kendari. Bahkan unjukrasa di Kendari menyebabkan dua mahasiswa tewas yakni La Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kaldawi (19).
Unjukrasa tersebut bukan tanpa alasan. Revisi undang-Undang yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi itu ujug-ujug muncul dan dibahas dalam waktu singkat.
RUU diinisiasi oleh Badan Legislasi DPR RI pada 5 September 2019, 11 September Presiden menyetujui revisi UU KPK. Kurang dari sepekan pembahasan dilakukan, rapat paripurna DPR sudah mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang pada 17 September.
Banyak pengamat nilai revisi undang-undang tersebut banyak muatan politiknya. Peneliti Senior Lipi Syamsuddin Haris bahkan menyebut bahwa revisi tersebut menunjukkan adanya kartel politik.
"Pengesahan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR menunjukkan dengan jelas bahwa DPR kita sudah menjadi semacam kartel politik yang mengancam demokrasi dan masa depan bangsa," ujar Syamsuddin di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Para mahasiswa menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan RUU KPK yang telah disahkan itu. Presiden kemudian menyatakan mempertimbangkan Perppu tersebut meskipun hingga kini, tidak kunjung dilakukan, bahkan sangat kecil kemungkinannya terwujud.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," kata Jokowi di Istana Merdeka, dua hari setelah unjukrasa ricuh mahasiswa, Kamis (26/9/2019).
Meskipun demikian aksi mahasiswa tersebut membuahkan hasil, setidaknya DPR menunda pengesahan sejumlah RUU yang tidak kalah kontroversial yakni RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan.
RKUHP diprotes karena kurang lebih terdapat 10 pasal kontroversial mulai dari pasal penghinaan presiden, masalah unggas peliharaan, aborsi, santet, zinah, gelandangan, alat kontrasepsi, korupsi, penistaan agama, dan kumpul kebo.
Sementara itu terdapat 5 pasal kontroversi di RUU Pertanahan, mulai dari pasal reforma agraria, perpanjangan hak guna usaha, politik agraria zaman kolonial, pasal kerahasiaan pemilik HGU, pasal ancaman pidana terhadap korban gusuran. RUU Pemasyarakatan atau RUU PAS diprotes karena memudahkan narapidana kasus korupsi memdapatkan pembebasan bersyarat.