Jumat, 3 Oktober 2025

Kasus BLBI

KPK Kembali Panggil Rizal Ramli Jadi Saksi Dalam Kasus BLBI Jumat Besok

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin), Rizal Ramli, Jumat besok

Editor: Adi Suhendi
TRIBUN/DANY PERMANA
Ekonom Rizal Ramli berbincang dengan awak Tribunnews.com terkait perkembangan ekonomi Indonesia terbaru di Kantor Redaksi Tribun Network, di Palmerah, Jakarta, Rabu (6/2/2019). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin), Rizal Ramli, Jumat (19/7/2019) besok.

Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) periode 2000-2001 itu bakal memberikan kesaksiannya terkait kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"Besok diagendakan pemeriksaan Rizal Ramli sebagai saksi dalam perkara ini dengan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim)," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, kepada pewarta, Kamis (18/7/2019).

Baca: Sempat Konflik Akibat Lahan, Wali Kota Tangerang-Kemenkumham Damai

Baca: Ketua Fraksi Demokrat DPRD DKI Laporkan Politisi PSI, Rian Ernest

Baca: BREAKING NEWS : Alat Vital Bayi Digigit Anak Anjing Peliharaan Ayahnya

Baca: Oesman Sapta Odang Berharap Pimpinan MPR Dipilih Secara Musyawarah

Sedianya, Rizal Ramli dipanggil KPK, Kamis (11/7/2019) pekan lalu.

Namun, ia meminta penjadwalan ulang.

Sekadar informasi, pada 2 Mei 2017, Rizal Ramli pernah mengungkapkan bahwa kasus dugaan korupsi BLBI terjadi karena beberapa faktor.

Salah satunya adalah kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

Rizal Ramli mengatakan, kebijakan pemberian BLBI saat krisis pada 2002 dikeluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Melalui Inpres tersebut, Bank Indonesia lalu menggelontorkan bantuan kepada 48 bank yang nyaris kolaps dengan jumlah mencapai Rp147,7 triliun.

Belakangan, KPK menangkap satu obligor yang diduga belum melunasi utang tapi telah mendapatkan SKL.

Dalam kasus dugaan korupsi BLBI, KPK sempat menetapkan Ketua BPPN 2002, Syafruddin Arsyad Tumenggung, sebagai tersangka. Ia diduga menerbitkan SKL ke BDNI.

Namun, Mahkamah Agung (MA) justru membebaskan Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus tersebut.

Meski demikian KPK tak patah arang.

Lembaga itu kembali mengusut kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI milik Sjamsul Nursalim.

Pada Rabu 10 Juli 2019, tim penyidik KPK telah memeriksa empat orang saksi, yakni mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf, mantan Deputi Kepala BPPN Farid Harianto dan Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah.

Hari berikutnya, Kamis (10/7/2019), tim penyidik KPK juga telah memeriksa Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) periode 1999-2000 sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie.

Panggil Sjamsul Nursalim

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil pemegang saham pengendali BDNI, Sjamsul Nursalim beserta istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN.

Pemeriksaan dijawalkan dilakukan Jumat (19/7/2019) pukul 10.00 WIB di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan.

"Ini adalah panggilan kedua untuk SJN dan ITN. Dua tersangka tersebut sebelumnya tidak hadir untuk panggilan pemeriksaan pertama pada Jumat, 28 Juni 2019," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, kepada pewarta, Kamis (18/7/2019).

Baca: KPK Tahan Empat Tersangka Suap Pengesahan RAPBD Jambi

Baca: Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Beberkan Insiden Penyerangan Hakim, Ini Kronologisnya

Baca: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dipukul Pengacara Saat Pimpin Sidang

Baca: Runut Perseteruan Wali Kota Tangerang dengan Menkumham: Berawal Saling Sindir Berakhir Dengan Senyum

Kata Febri, surat panggilan untuk dua tersangka telah dikirimkan ke lima alamat di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah Sjamsul-Itjih di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan sejak Rabu, 10 Juli 2019.

Untuk alamat di Singapura, imbuhnya, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia, ke empat alamat, sejak Kamis, 11 Juli 2019, yaitu 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd.

"Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura," kata Febri.

Surat pemanggilan KPK terhadap pasangan Sjamsul-Itjih Nursalim
Surat pemanggilan KPK terhadap pasangan Sjamsul-Itjih Nursalim yang ditempel di papan pengumuman KBRI Singapura (Tim KPK)

"Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura sejak Rabu, 10 Juli 2019," sambungnya.

Dalam perkara ini, Sjamsul-Itjih Nursalim diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Diduga kerugian keuangan negara adalah sebesar Rp4,58 triliun.

Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa tersangka melakukan missrepresentasi dan aset tergolong aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

Pada 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp220.000.000.000. Padahal nilai kewajiban Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.

Atas perbuatan tersebut, Sjamsul-Itjih Nursalim disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Perkuat bukti

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan pemeriksaan terhadap mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI terhadap obligor BDNI.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pemeriksaan terhadap saksi Laksamana Sukardi untuk mengetahui proses penerbitan SKL BLBI terhadap pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim.

"Untuk saksi Laksamana Sukardi, Penyidik mendalami apa yang ia ketahui dalam posisi di KKSK terkait dengan proses menuju penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (10/7/2019).

Baca: Baim Wong Minta Kameramen Tak Masuk Ruangan Saat Jenguk Agung Hercules

Baca: Tarifnya Mulai Rp 300 Ribu, Ini Daftar Hotel Murah di Sydney untuk Backpacker

Baca: Menteri ATR Diminta Tak Asal Revisi RTRW Hanya Demi Untungkan Calon Investor

Selain Laksamana Sukardi, KPK juga memeriksa tiga saksi lainnya.

Ketiganya yakni, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surta Yusuf, mantan Deputi Kepala BPPN Farid Harianto, serta seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Edwin H Abdulah.

Mereka juga diperiksa ‎untuk penyidikan Sjamsul Nursalim. 

Kata Febri, tim menggali soal proses pemenuhan kewajiban Sjamsul Nursalim terhadap para saksi tersebut.

Hal itu, untuk memperkuat bukti-bukti keterlibatan Sjamsul dan istrinya dalam kasus ini.

"Pemeriksaan saksi-saksi ini untuk terus memperkuat bukti dugaan korupsi yang dilakukan SJN dan ITN yang menjadi tersangka dalam kasus ini," jelas Febri.

Baca: Kepadatan Arus Lalu Lintas Terjadi di Kawasan Senayan Usai Laga Persija Vs Persib

Febri merincikan secara khusus terkait pemeriksaan untuk Glenn Yusuf.

Menurut Febri, pihaknya perlu mendalami keterangan saksi Glen terkait rangkaian proses pengambil alihan pengelolaan BDNI dan tanggung jawab Sjamsul Nursalim.

‎"‎Untuk saksi Glen M Yusuf, mantan Ketua BPPN didalami rangkaian proses-proses mulai dari pengambil alihan pengelolaan BDNI dan tanggung jawab Sjamsul Nursalim dalam penyelesaian kewajibannya, permintaan agar Sjamsul Nursalim menambah aset untuk mengganti kerugian karena adanya misrepresentasi atas kredit petambak saat itu termasuk adanya penolakan dari Sjamsul Nursalim dan Informasi lain yang relevan," ungkap Febri.

Sebelumnya, mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung dilepaskan dari Rutan KPK, Selasa malam kemarin.

Hal ini menyusul putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin.

Dengan bebasnya Syafruddin, banyak pihak menganggap putusan MA tersebut juga bisa menggugurkan penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Sebab, dua tersangka ini merupakan pengembangan dari penyidikan perkara Syafruddin.

Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga KPK melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sekitar Rp4,8 triliun.

Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun.

Alasannya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 Miliar.

Kecewa

Advokat Senior Maqdir Ismail merasa heran dan kecewa mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus melanjutkan proses hukum terhadap Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) dengan dalih bahwa peran suami-istri itu berbeda dengan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

“Sangat mengecewakan mendengar KPK akan terus melanjutkan proses hukum terhadap SN dan IN. Saat ini KPK berbalik mengklaim bahwa peran dan perbuatan SN dan IN berbeda dengan SAT," kata Maqdir Ismail kepada wartawan Senin petang.

Maqdir mengingatkan bahwa sebelum Majelis Hakim Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya (Selasa 9 Juli), KPK mengklaim bahwa SAT, SN dan IN melakukan perbuatan secara bersama, sebagaimana dinyatakan dalam surat dakwaan.

Bahkan dalam surat panggilan terhadap para saksi dalam penyidikan perkara SN dan IN, ditegaskan panggilan terhadap para saksi atas perkara pidana yang dilakukan SN dan IN bersama-sama dengan SAT. KPK bahkan kembali menyatakan hal ini pada konferensi persnya pada tanggal 10 Juni 2019.

Baca: Di Hadapan Santri Ponpes Lirboyo, Hotman Paris Beberkan Kasus Ikan Asin dan Beri Warning Penting ini

Baca: Hotman Paris Ajak Penyanyi Dangdut Ini Dansa di Pantai Bali

Baca: Tata Cara Salat Gerhana atau Salat Khusuf, Gerhana Bulan Sebagian Terjadi Rabu Dini Hari

"Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan bahwa perbuatan SAT bukanlah perbuatan pidana. Saya bersama dengan banyak warga Indonesia, seperti juga yang sudah diutarakan Bapak Wakil Presiden, meminta KPK untuk konsisten dalam tindakannya dan menghormati putusan pengadilan".

Perkara ini, katanya, bukan hanya menjadi perhatian masyarakat di Indonesia. Tapi komunitas investor internasional juga terus memantau perkembangan kasus ini.

"Jika tidak ada kepastian hukum dan tidak ada penghormatan pada putusan pengadilan, maka warganegara Indonesia tidak akan mendapatkan perlindungan hukum."

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved