Pilkada Serentak
Kuasa Hukum Pemohon Sebut KPU dan Bawaslu Tidak Sinkron Terkait Sistem Noken di Wilayah Papua
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/7/2018) kembali menggelar sidang terkait sengketa Pilkada di Papua.
Kuasa Hukum Pemohon Sebut KPU dan Bawaslu Tidak Sinkron Terkait Sistem Noken di Wilayah Papua
Laporan wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/7/2018) kembali menggelar sidang terkait sengketa Pilkada di Papua.
Adapun salah satu sidang terkait yakni agenda mendengarkan jawaban KPU Provinsi Papua, Bawaslu Provinsi Papua dan Pihak Terkait (Lukas Enembe dan Klemen Tinal) paslon nomor urut 1.
Saleh selaku Kuasa Hukum Pemohon paslon nomor 2, Wempi Wetipo-Habel M. Suwae, mengatakan ada ketidaksinkronan antara KPU dan Bawaslu yang menyatakan sistem noken terjadi di 14 Kabupaten.
"Tetapi menurut Bawaslu Papua, ada 16 Kabupaten yang menggunakan sistem noken, padahal sama-sama penyelenggara pemilihan," pengacara Pemohon usai sidang di MK, Selasa (31/7/2018).
Atas ketidakmampuan menjawab permohonan pemohon, Saleh melanjutkan, maka Termohon dan Pihak Terkait hanya mengalihkan ke ambang batas, padahal ini terkait dengan kejahatan demokrasi di Papua yang tidak terjadi pelaksanaan pilkada di 13 kabupaten.
Yang lebih disayangkan, tambah Saleh, adalah jawaban Bawaslu Provinsi selain normatif, juga mengatakan tidak adanya laporan pelanggaran.
"Padahal Pemohon telah membuktikan banyaknya laporan yang dibuat oleh tim pemohon yang sidah dijadikan bukti di MK namun tidak ditindaklajuti oleh Bawaslu," ujarnta
Sebagai lembaga yang mendapatkan anggaran kurang lebih 270 miliaran, Saleh mempertanyakan, apa yang dikerjakan Bawaslu sampai tidak tahu adanya 13 kabupaten yang tidak melaksanakan pemilihan.
Sebelumnya, pada persidangan pertama tanggal 26 Juli 2018 sudah diingatkan oleh majelis hakim agar Termohon, Bawaslu, dan Pihak Terkait menjawab poin-poin sesuai dengan dalil permohonan Pemohon.
"Nyatanya Termohon, Bawaslu, dan Pihak Terkait sebagaimana jawaban yang dibacakan di persidangan, mereka hanya membuat jawaban secara normatif dengan tidak menanggapi secara langsung 13 kabupaten yang dipersoalkan sebagaimana permohonan pemohon," kata Saleh.
Keanehan itu berlanjut, kata Saleh, saat Pihak Terkait menjawab hanya membuktikan secara sampling di 10 TPS di salah satu kabupaten dengan mengklaim semua C-1 KWK ada, tetapi Pihak Terkait tidak mau membuktikan di Mahkamah Konstitusi.
"Ini membuktikan bahwa memang benar di 13 kabupaten yang didalilkan oleh Pemohon tidak ada pencoblosan di 13 kabupaten dan Pihak Terkait tidak mempunyai C-1 KWK di 13 Kabupaten," ujar Saleh.
Lebih jauh, Saleh menjelaskan, KPU sendiri dari cara menjawabnya juga sangat normatif. "Cara menyusun bukti saja sangat belepotan membuat Pemohon kaget," tambahnya.
Saleh melanjutkan, dalam waktu 6 hari, KPU tidak mampu menghadirkan bukti-bukti secara maksimal, hingga akhirnya diingatkan oleh Majelis Hakim.
"Ini membuktikan bahwa KPU Papua tidak siap menghadapi permohonan Pemohon yang mampu membuktikan 136 bukti yang telah diserahkan ke MK," pungkasnya.