Sabtu, 4 Oktober 2025

Perludem: Logika Hukum MK Membingungkan

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik logika hukum Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nom

KOMPAS IMAGES
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik logika hukum Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.

"Ketika mengikuti pembacaan keputusan tadi, memperhatikan alur atau logika dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh majelis hakim, agak sulit memahami logika yang digunakan MK," ujar Direktur Eksekutif Perkumulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini kepada Tribunnews.com, Kamis (11/1/2018).

Baca: Gara-gara foto tatonya menyebar, mantan bos yakuza ditangkap di Thailand

Bagian manakah? Menurut Titi, ketika majelis hakim mengungkapkan ambang batas pencalonan presiden sebagai sesuatu yang konstitusional.

MK menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Perludem turut menjadi pemohon uji materi ini.

Adapun pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Misalnya, Titi mengatakan, ambang batas pencalonan presiden merujuk pada kursi dan suara hasil pemilu legislatif sebagai bagian yang memperkokoh presidential.

Baca: Yusril: HGB yang Sudah Terbit Tidak Bisa Dibatalkan Begitu Saja

"Kekhawatiran mereka, presidentialisme yang rasa parlementer. Karena Presiden yang selalu diganggu oleh parlemen," jelasnya.

Logika yang tidak bertemu adalah, jelas dia, irasionalitas ketika merujuk hasil pemilu sebelumnya.

"Memang ambang batas itu sesuatu yang biasa dalam pencalonan presiden. Tapi menjadi tidak biasa ketika yang digunakan adalah perolehan suara dan perolehan kursi hasil pemilu DPR (legislatif-red) sebelumnya," ucapnya.

Jadi, tegas dia, kekuatan yang diharapkan menjadi pendukung calon presiden adalah kekuatan masa lampau.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved