Sabtu, 4 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Cium Kejanggalan, ICW: Publik Harus Antisipasi Hakim Menangkan Praperadilan Setya Novanto

"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar,"

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Wahyu Aji
Ketua DPR Setya Novanto 

Setya Novanto menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

"Logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka," katanya.

Selain itu, kejanggalan lainnya adalah Hakim mengabaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Dalam sidang praperadilan Jumat (22/9/2017), Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI).

Pengabaian tersebut menurut ICW, dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017.

Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK.

Namun, akhirnya tidak diperhitungkan Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017.

Kejanggalan berikutnya, Hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat ad hoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.

Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat ad hoc lembaga KPK.

Padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut.

"Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan," kata dia.

Bahkan kejanggalan lainnya adalah laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan.

Kuasa Hukum Setya Novanto membawa sejumlah bukti satu diantaranya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.

Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved