Peneliti: Meski MK Berikan Fatwa Hukum, Pansus Angket KPK Diyakini Akan Jalan Terus
"Saya melihat bahwa tujuan dari keberadaan Pansus ini dari awal tidak jelas dan sengaja menganggu proses penegakan hukum e-KTP."
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan DPR menggunakan hak angket terhadap KPK tidak akan mampu menghentikan niat untuk menganggu proses penegakan hukum kasus korupsi e-KTP.
"Meskipun MK akan memberikan fatwa hukum, saya tidak yakin Pansus akan berhenti," ungkap peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar kepada Tribunnews.com, Kamis (13/7/2017), menanggapi adanya sejumlah pihak melakukan uji materi ke MK terkait kewenangan DPR menggunakan hak angket terhadap KPK.
"Saya melihat bahwa tujuan dari keberadaan Pansus ini dari awal tidak jelas dan sengaja menganggu proses penegakan hukum e-KTP," tambahnya.
Jika melihat beberapa putusan MK terdahulu, lanjutnya, sebenarnya posisi MK dalam konstitusi sudah sangat jelas terkait uji materi tersebut.
Pertanyaannya, imbuhnya, apakah Pansus DPR akan berhenti, jika MK akan memberikan fatwa hukum? Demikian ia meragukannya.
Sebelumnya pegawai KPK dan empat mahasiswa telah lebih dahulu mengajukan uji materi terkait kewenangan hak angket DPR yang tercantum pada pasal 79 Ayat 3 UU Nomor 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Viktor Santoso selaku koordinator kuasa hukum Pemohon mengatakan, uji materi yang diajukan pihaknya ini berawal dari pembentukan Pansus Angket DPR terhadap KPK yang terkesan dipaksakan.
Dalam pasal 79 ayat 3 UU MD3 menyebut bahwa DPR dapat menggunakan hak angket kepada pemerintah.
Namun, beberapa waktu belakangan, DPR seakan memperluas makna, sehingga hak angket juga bisa diberlakukan terhadap KPK yang sebenarnya merupakan lembaga negara.
Padahal, kata Vector, dalam penjelasan norma pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah, yakni pelaksana suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian.
"Ini sudah bukan preseden buruk lagi, tapi sangat buruk karena pemahaman dari UU yang sudah dijelaskan secara eksplisit dan dijelaskan lagi pada bagian penjelasan secara limitatif mengenai lingkup angket itu, kemudian dimaknai lebih luas lagi oleh DPR tanpa melihat undang-undang. Artinya, dia (DPR) meluaskan sendiri kewenangannya," kata Vector di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2017).