Jumat, 3 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

KPK: Kasus Keterangan Palsu Miryam Mengacu Pasal 22 UU Tipikor, Bukan Pakai KUHAP

Adalah tidak tepat jika delik pemberian keterangan palsu terkait perkara korupsi menggunakan Pasal 174 KUHAP

Penulis: Abdul Qodir
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Politikus Hanuran Miryam S Haryani tiba di gedung KPK Jakarta untuk menjalani pemeriksaan, Jumat (12/5/2017). Miryam diperiksa sebagai tersangka pertama kali pasca penahanan terkait kasus pemberian keterangan tidak benar dalam sidang perkara dugaan korupsi KTP elektronik. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak KPK menyatakan pidana pemberian keterangan palsu di persidangan yang terkait perkara korupsi diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus, dalam hal ini Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pun demikian dengan penyidikan kasus pemberian keterangan palsu di persidangan perkara korupsi proyek e-KTP yang menjerat anggota DPR Miryam S Haryani.

Adalah tidak tepat jika delik pemberian keterangan palsu terkait perkara korupsi menggunakan Pasal 174 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Demikian disampaikan Kepala Biro Hukum KPK Setiadi saat membacakan tanggapan atas gugatan praperadilan penetapan tersangka Miryam S Haryani, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (16/5/2017).

Pasal 22 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor berbunyi:

"Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

Pada sidang praperadilan sebelumnya, penasihat hukum Miryam mendalilkan atau menyatakan, Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor merupakan bentuk khusus dari Pasal 242 KUHP.

Kekhususan tersebut berkaitan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa yaitu mengenai tindak pidana korupsi, dan ketentuan hukum acara yang berlaku di pengadilan tindak pidana korupsi Pasal 25 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi.

Pihak Miryam juga menyampaikan, berdasarkan ketentuan tersebut maka apabila ada keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi yang disangka palsu maka untuk mengajukan penyidikan terhadap tersangka dilaksanakan berdasarkan Pasal 174 KUHAP.

Selain itu, mereka juga mendalilkan bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi e-KTP atas terdakwa Irman dan Sugiharto telah menolak mendakwa Miryam berdasarkan Pasal 174 KUHAP juncto Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor dan mendengar keterangan saksi yang lain terlebih dahulu.

Atas dalil tersebut, KPK menyatakan dalil penerapan Pasal 174 KUHAP yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan adalah bertentangan dengan Pasal 174 ayat (3) KUHAP.

Selain itu, pihak Miryam juga menunjukkan ketidakkonsistenan dakam penerapan Pasal 174 ayat (3) KUHAP, karena di satu sisi mendalilkan bahwa penerapan Pasal 174 KUHAP melalui proses penyidikan, sedangkan terkait dengan penerapan Pasal 174 ayat (3) KUHAP ditindaklanjuti dengan proses penuntutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan, “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.

"Dengan demikian, aturan pidana khusus yang diterapkan adalah Pasal 22 Undang-undang Tipikor," kata Setiadi saat membacakan surat tanggapan gugatan praperadilan Miryam S Haryani

Menurutnya, ketentuan Pasal 22 UU TIPIKOR cakupannya lebih luas dengan ancaman pidana yang lebih berat daripada ketentuan Pasal 242 KUHP.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved