Korupsi KTP Elektronik
Fahri Hamzah Harusnya Lapor Dewan Penasehat dan Pengawas KPK
Desakan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, agar Ketua KPK Agus Rahardjo mundur dari jabatannya karena menuai berbagai tanggapan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Desakan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, agar Ketua KPK Agus Rahardjo mundur dari jabatannya karena menuai berbagai tanggapan.
Satu diantaranya berasal dari Kordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani.
Julius menyarankan jika menuduh Ketua KPK memiliki konflik kepentingan dalam kasus e-KTP sebaiknya dilaporkan kepada Dewan Penasehat dan Pengawas di internal KPK.
Apalagi sejauh ini Dewan Penasehat dan Pengawas di internal KPK sudah bergerak secara independen dalam memeriksa dan mengawasi Pimpinan KPK.
Selain itu, pegiat antikorupsi tersebut menyebut salah kaprah jika tindak pidana korupsi hanya didasarkan laporan hasil Audit BPK saja.
Baca: Rusak Terumbu Karang di Papua, Pemerintah Berupaya Pinta Pertanggungjawaban Kapal MV Caledonian Sky
Puluhan kasus dimana Hasil Audit BPK dinyatakaan WTP pada faktanya tetap ditemukan korupsi.
Misalnya saja Kasus Hambalang dan lainnya.
"Jelas, pembentukan opini yang tidak berdasar ini, dan cenderung menyerang Pimpinan merupakan modus atau trik lama dalam melemahkan KPK secara institusional," ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (15/3/2017).
"Kasus Cicak vs Buaya sampai terakhir BW dan Abraham Samad jadi bukti nyata," tambahnya.
Menurutnya, jika berpendapat Ketua KPK memiliki konflik kepentingan tentu akan kembali kepada DPR.
Menurutnyaseleksi Pimpinan KPK ujungnya berada di DPR.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah juga menegaskan dalam surat dakwaan sudah dijelaskan secara gamblang LKPP dalam proyek itu.
"Dalam dakwaan sudah kami uraikan, soal itu," ucap Febri Diansyah.
Febri Diansyah melanjutkan, kala itu di bawah kepemimpinan Agus, LKPP sudah menyarankan agar sembilan lingkup pekerjaan tidak digabungkan karena peluang gagal sangat besar dan berpotensi merugikan keuangan negara.