Pak SBY, Mengadu ke Tuhan, Kok, Lewat Twitter
Kalimat SBY memang tidak lebih dari "curhat yang dikemas dengan doa" atau "doa yang menyerupai curhat".
Saya sama sekali tidak yakin bahwa Pak SBY masih selevel nalar dan logikanya dengan anak- anak remaja alay penggemar sinetron Anak Jalanan dan Mermaid in Love.
Beliau adalah purnawirawan jenderal, pernah jadi anggota DPR RI, pernah jadi menteri, dan Presiden Republik Indonesia dua periode.
Saya pikir beliau tahu betul, sadar betul, bahwa Tuhan tidak punya akun Twitter dan karenanya tidak mungkin membalas curhat itu lewat Direct Message (DM). Bahkan tidak untuk sekadar me-retweet.
SBY juga bukan pendakwah. Perkembangan internet dan media sosial memang mengharuskan para pendakwah untuk masuk ke dalamnya.
Pendakwah yang ingin menjangkau masyarakat modern, terutama sekali kaum millenials yang hidupnya serba digital, mutlak memiliki akun- akun di media sosial. Entah itu Facebook, Twiiter, atau Instagram.
Jika SBY pendakwah maka cuitannya jadi wajar.
Persoalannya, sekali lagi, SBY bukan pendakwah. Dan apa yang disampaikannya juga bukan dakwah. Sama sekali bukan.
Kalimatnya bukan kalimat dakwah. Bukan kalimat-kalimat sebagaimana yang kerap dipampangkan Ustaz Arifin Ilham di Facebook, misalnya.
Bukan pula kalimat-kalimat sufistik Candra Malik di Twitter.
Kalimat SBY memang tidak lebih dari "curhat yang dikemas dengan doa" atau "doa yang menyerupai curhat".
SBY cuma mengadu kepada Tuhan.
Pertanyaannya, jika hendak mengadu kepada Tuhan, kenapa dikemukakan lewat Twitter?
Kenapa tidak secara langsung saja? Melalui doa seusai Salat Tahajud, misalnya.
Kenapa SBY sampai pada pemikiran bahwa aduannya memerlukan perantara?
Doa merupakan refleksi kejujuran. Yakni kejujuran mahluk kepada yang menciptanya.