Minggu, 5 Oktober 2025

Saatnya Presiden Jokowi Perkuat Unit Siber Polri, BIN dan Kemenhan

Potensi ancamannya tak lagi hanya berupa penyadapan atau pencurian dokumen dan ragam rahasia negara bisa dibobol dengan modus serangan siber

TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo patut memprakarsai penguatan unit-unit siber di tubuh Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Pertahanan.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penguatan semua unit siber itu menjadi sangat penting untuk menangkal potensi serangan siber yang marak belakangan ini.

"Termasuk serangan yang mengganggu aspek pertahanan dan keamanan nasional, serta serangan yang berpotensi merusak ketertiban umum," kata Bambang melalui pesan singkat, Minggu (15/1/2017).

Untuk merespon serangan siber dari mana pun, Bambang menuturkan Indonesia saat ini sudah memiliki unit Cyber Deffence di Kementerian Pertahanan, Cyber Intelligence di BIN, dan Cyber Security di tubuh Polri.

"Oleh karena tantangannya terus tereskalasi, penguatan unit-unit siber di Polri, BIN dan Kementerian Pertahanan itu perlu menjadi perhatian khusus dari Presiden Jokowi," kata Politikus Golkar itu.

Menurut Bambang, eskalasi tantangan itu bisa dilihat dari keberhasilan agen rahasia Rusia menjebol pertahanan siber Amerika Serikat (AS) yang dikenal kondang.

Contohnya, CIA (Central Intelligence Agency) dan FBI (Federal Bureau of Investigation) sudah membuat pengakuan terbuka bahwa jaringan agen rahasia Rusia berhasil membobol pertahanan mereka.

Melalui serangan siber, Bambang mengungkapkan Rusia mampu mengintervensi pemilihan Presiden AS, November 2016, dan sukses membantu kemenangan calon dari Partai Republik Donald Trump.

"Pembobolan pertahanan siber AS oleh Rusia itu tidak hanya membuat malu CIA dan FBI, tetapi juga membangun rasa cemas di AS. Komunitas agen rahasia AS dalam FBI maupun CIA kini mencemaskan masa depan keamanan nasional negeri itu," kata Bambang.

Bambang mengatakan pengalaman buruk AS itu patut dijadikan pelajaran oleh pemerintah Indonesia.

Apalagi, Indonesia tidak hanya rentan akan serangan siber, tetapi juga sudah punya pengalaman buruk oleh serangan intelijen asing.

'Presiden RI, Ibu negara, sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara pernah menjadi target penyadapan oleh para agen rahasia Defence Signals Directorate Australia. Selama 15 hari sepanjang bulan Agustus 2009, intelijen Australia menyadap kegiatan Presiden RI melalui telepeon genggam," tutur Bambang.

Menjelang akhir 2010, ujar Bambang, Wikileaks mengaku memiliki tak kurang dari 3.059 dokumen rahasia milik Pemerintah AS.

Informasi rahasia itu mencatat berbagai informasi tentang Indonesia.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved