Jumat, 3 Oktober 2025

Uang Rp 100 Juta dari Kadensus untuk Keluarga Siyono Bukan Uang Sogokan

Uang sebesar Rp 100 juta tersebut menurut Kapolri bukan sebagai sogokan kepada keluarga Siyono.

Editor: Dewi Agustina
Tribun Jogja/Padhang Pranoto
Suasana rumah Siyono, saat Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil A Simanjuntak mengunjungi kediaman tersebut di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kamis (31/3/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengakui ada uang sebesar Rp 100 juta yang diberikan kepada keluarga almarhum Siyono.

Namun uang tersebut bukan dari Polri melainkan dari kantong pribadi Kepala Densus 88 Mabes Polri Brigjen Pol Eddy Hartono.

"Itu bukan uang negara, uang pribadi dari Kadensus. Ya, boleh saja," ujar Badrodin.

Uang sebesar Rp 100 juta tersebut menurut Kapolri bukan sebagai sogokan kepada keluarga Siyono karena pada dasarnya kematian terduga teroris itu merupakan kecelakaan yang tak bisa dihindari.

Kapolri menjelaskan pemberian uang tersebut secara personal sah-sah saja dilakukan sebagai bentuk ungkapan duka cita mendalam.

"Biasa, kalau kita ada kematian, pasti ada rasa simpati-lah sebagai rasa berdukacita. Itu sah-sah saja," kata Badrodin.

Sebanyak 10 ikat uang senilai Rp 100 ribu terbungkus rapi dalam dua buah koran yang diisolasi berwarna cokelat dan digabungkan dalam satu plastik hitam. Satu ikat uang tersebut bernilai Rp 10 juta.

"Uang ini merupakan dana yang diberikan oleh lima petugas Densus 88 kepada istri Siyono, Suratmi dan kerabatnya yang masing-masing menerima Rp 50 juta," ujar Komisioner Komnas HAM, Siane Indriyani.

Sepuluh ikat uang tersebut baru pertama kalinya dibuka di publik karena dirasa penting untuk diberitahu kepada masyarakat sebagai bentuk pelajaran dan informasi apa yang dilakukan Densus 88 kepada keluarga Siyono.

"PP Muhammadiyah dan Komnas HAM telah menerima uang ini tidak lama setelah kematian Siyono terjadi. Tapi kami menolak untuk menerima, tapi Suratmi (istri Siyono) meminta kami untuk membukanya ke publik," kata Siane.

Uang tersebut menurut pengakuan Suratmi diberikan untuk mengurus pemakaman Siyono dan uang hibah untuk keluarga dan diberikan kepada Suratmi pada saat petugas menjemputnya untuk menjenguk Siyono di rumah sakit.

Menurut Siane, kenyataannya, Siyono yang selama ini diduga teroris oleh Densus 88 harus meninggal secara tidak wajar tanpa pengadilan yang jelas.

Belum ada rencana uang tersebut akan digunakan untuk apa atau dikembalikan kepada siapa. Pasalnya Komnas HAM dan juga PP Muhammadiyah yang mengawal kasus Siyono akan berkoordinasi lebih lanjut mengenai hal itu.

"Nanti. Kami rapatkan dulu. Belum ada rencana mau kami kembalikan kemana atau diberikan ke siapa," kata Siane.

Kapolri Siap Dikoreksi
Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menjelaskan mengenai hasil visum dari Polri dan dilakukannya autopsi terhadap jenazah Siyono oleh tim dokter PP Muhammadiyah dibantu satu dokter forensik Polri, Badrodin menghargai hal itu.

"Saya terima kasih kasus Siyono sudah dilakukan autopsi dan sudah ada hasilnya. Kami hargai itu karena terkait dengan Densus 88 yang tupoksinya sudah jelas. Kalaupun dalam pelaksanaan upaya pemberantasan terorisme ada hal yang dianggap janggal, dicurigai ada kekeliruan, saya siap dikoreksi,"ujar Kapolri.

Mantan Kapolda Jawa Timur ini melanjutkan, hasil autopsi Siyono dan hasil pemeriksaan serta pengawasan di Propam dan Irwasum akan dicocokkan apakah memang ada kejanggalan.

"Kami di Polri ada mekanismenya, Irwasum yang melakukan pengawasan dan Propam yang melakukan pemeriksaan. Nanti dilihat cocok nggak antara proses di Propam dengan temuan dari hasil autopsi," tambahnya.

Apabila memang ditemukan pelanggaran maka orang nomor satu di institusi Polri ini akan menindak anggota yang bersalah dan diproses hukum baik pelanggaran kode etik, disiplin hingga pidana.

Pada kesempatan tersebut Kapolri juga tidak mempersoalkan apabila hasil autopsi terhadap terduga teroris asal Klaten dilaporkan ke DPR RI.

Menurutnya, soal kasus Siyono tidak ada yang perlu dirisaukan. Kalaupun dilaporkan ke DPR RI, memang tugas DPR ialah untuk mengawasi Polri.

"Ya tidak apa, kan DPR memang mengawasi kami. Tidak perlu ada yang dirisaukan. Silakan saja sepanjang sesuai dengan koridor ketentuan hukum ya sah-sah saja," tambahnya.

Fakta mengenai kematian Siyono, warga Klaten, Jawa Tengah, terduga teroris terkuak setelah Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Komnas HAM melakukan autopsi.

Hasilnya, Siyono meninggal dunia akibat kekerasan menggunakan benda tumpul di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada.

Jenazah Siyono saat diautopsi mengalami penyimpangan pembusukan atau saponifikasi, sehingga jenazah tidak terlalu rusak.

Saponifikasi disebabkan lingkungan untuk mengubur jenazah bersuhu ingin dan cukup air. Proses pembusukan tidak secepat di wilayah kering dan tandus.

Kesimpulan sementara, saat pemukulan terjadi, Siyono dalam keadaan merebahkan diri di satu tempat dan dihajar habis-habisan dari arah depan menggunakan benda tumpul. Selain itu, ada juga pemukulan di bagian belakang.

Karo Penmas Polri, Brigjen Agus Rianto, pernah memberi penjelasan Siyono sempat melakukan perlawanan, bahkan menyerang anggota Densus 88 Antiteror, yang mengawalnya.

Menurut Agus Rianto, terjadi perkelahian di dalam mobil antara Siyono dan personel Densus.

Siyono dinyatakan meninggal di rumah sakit, kemudian jenazahnya dibawa ke RS Polri Kramat Jati Jakarta Timur. Pada Sabtu (12/3/2016), pukul 15.30 WIB, jenazah diserahkan ke pihak keluarga.

Atas banyaknya kejanggalan kematian Siyono itu sejumlah ormas pun langsung bersuara. Ormas tersebut yakni PP Muhammadiyah, Komnas HAM dan Kontras.

Mereka meminta DPR lakukan audit kepada Detasemen Khusus 88 Mabes Polri.

"Kita ingin dorong secara politik. Komisi III punya wewenang politik untuk dorong kepolisian lakukan audit ke Densus 88," kata Ketua PP Muhammadiyah, Dahnil Anzhar Simanjuntak.

Ia berharap Komisi III DPR mendorong evaluasi mendasar pola kerja Densus yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila.

Dahnil mengatakan penanganan kasus terorisme di Indonesia mengabaikan aspek kemanusiaan dan HAM.

"Tidak sesuai dengan Pancasila sila kedua," katanya.

Mengenai adanya uang santunan senilai Rp 100 juta kepada keluarga Siyono, Dahnil tidak mempermasalahkannya. Sebab, hal itu terkait dengan alasan kemanusiaan.

"Kami dorong Komisi III buka ada dugaan pelanggaran HAM terhadap Siyono ini," katanya.

Sedangkan Ketua Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan hasil memperlihatkan jasad Siyono belum pernah dilakukan autopsi sebelumnya.

"Kalau tidak digunakan, timbulkan pertanyaan publik pada proses transparansi," ujar Busyro.

Busyro Muqoddas juga mempertanyakan apakah pemberian uang Rp 100 juta dari kantong pribadi Kadensus itu merupakan suatu prosedur lazim.

"Uang ini dari mana? Apa lazim yang tewas di tangan Densus lalu diberi uang? Apa ada aturan standar akuntansi yang membenarkan untuk itu," kata Busyro.

Busyro juga mengungkit soal kematian Siyono yang hanya berselang beberapa hari dari penangkapan.

Dia mengaitkan dengan pasal di revisi UU Terorisme yang memberi kewenangan terduga teroris ditahan hingga 30 hari.

"Kami ingin mengaitkan dengan revisi UU Terorisme. Salah satu pasal disebutkan kewenangan sampai 30 hari. Kasus Siyono ini tidak sampai satu minggu tewas dengan cara yg tidak wajar," ujar mantan pimpinan KPK ini.

Tamparan Keras Polri
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menghargai langkah Muhammadiyah melakukan autopsi terhadap jasad Siyono. Siyono diduga tewas akibat pukulan benda tumpul di seluruh tubuh dan terutama di bagian dada.

"Ini menjadi tamparan bagi kepolisian, Densus 88 bagaimana terjadi pelanggaran," kata Fadli.

Ia mengatakan adanya dugaan pelanggaran bila seseorang ditahan kemudian meninggal. Untuk itu, Politikus Gerindra itu meminta kepolisian melakukan sidang etik terhadap perkara Siyono.

Fadli menilai kejadian tersebut membuat Densus 88 melakukan pembenahan serta sanksi berat bagi anggota yang melanggar.

"Satu orang saja kita permasalahkan bertahun-tahun, ini sebegitu banyak. Era reformasi tekankan HAM, pelanggaran HAM sekarang dianggap biasa saja," tuturnya.

Sementara, Politikus PAN Teguh Juwarno menilai hasi autopsi Siyono mengejutkan karena tewas akibat tindakan kekerasan. Ia pun meminta kinerja Densus dievaluasi.

"Ini jadi catatan kita. Anak bangsa mati tanpa melalui forum pengadilan. Janganlah terjadi Ibu Suratmi (istri Siyono) yang anaknya kecil-keci. Harus evaluasi kerja Densus," ujarnya. (fer/kps/rio/ter/wly/Tribunnews)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved