RUU Pilkada
Masyarakat Sipil Desak Penundaan Pembahasan RUU Pilkada
Masyarakat sipil mendesak penundaan pengesahan karena masih banyak masalah dalam pembahasannya.
Proses pembahasan RUU Pilkada selama ini melalui pengklusteran isu-isu krusial dan masih harus melalui proses perumusan dan sinkronisasi pasal-pasal yang ada di dalam RUU Pilkada. Walaupun, menurut keterangan Abdul Hakam Naja, Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada, pada Kamis 28 Agustus 2014 lalu, isu krusial yang masih belum ditetapkan dalam panja hanya tinggal satu isu yaitu posisi wakil kepala daerah dicalonkan satu paket dengan kepala daerah atau ditunjuk oleh kepala daerah yang terpilih.
Namun, RUU Pilkada yang sudah dua tahun dibahas DPR ini masih sangat harus melalui proses perumusan pasal per pasal dan sinkronisasi yang bisa memakan waktu yang panjang.
Sesuai pengalaman pembahasan RUU MD3 yang membahas UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ternyata justru pada tahap perumusan dan sinkronisasi pasal-pasal terjadi banyak perubahan terhadap ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut.
Peneliti Perludem Veri Junaedi mendorong agar DPR lebih fokus membahas APBN di akhir masa jabatannya. Pemerintahan lama tidak punya legitimasi membuat kebijakan besar yang drastis, karena pemerintahan dan anggota legislatif yang baru sudah terpilih dalam Pemilu 2014 dan akan segera dilantik.
"Jika dipaksakan maka pembahasan RUU Pilkada hanya akan menjadi ajang pertarungan lanjutan Pilpres 2014, sehingga arah desain pelaksanaan Pilkada menjadi kabur," terang Veri.
Masyarakat Sipil yang mendesak penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada di antaranya Solidaritas Perempuan, Bengkel APPeK NTT, FIK ORNOP SULSEL, Malang Corruption Watch, SIGAB Jogja, The Aceh Institute, Acehnese Civil Society Task Force, Forum LSM Aceh, Pokja 30 Kaltim, Perludem dan ICW.