Harjono Minta Sengketa Pilkada Tidak Diadili di MK
Hakim senior Mahkamah Konstitusi (MK), Harjono, mengatakan DPR sebaiknya mencabut kewenangan MK untuk mengadili perselisihan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim senior Mahkamah Konstitusi (MK), Harjono, mengatakan DPR sebaiknya mencabut kewenangan MK untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Kepala Daerah.
Menurut Harjono, banyaknya PHPU yang didaftarkan ke Mahkamah menyebabkan terganggunya fungsi utama MK sebagai Pengujian Undang-Undang (PUU).
"Kalau saya tidak hanya pembatasan, lepaskan saja dari MK, tidak usah kasi kan ke MK, karena mengganggu tugas utamanya MK," ujar Harjono kepada wartawan di ruang kerjanya, Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Banyaknya PHPU diakui Harjono sangat menyita waktu karena undang-undang mensyaratkan waktu penyelesaian PHPU adalah 14 hari. Dengan batas waktu hanya dua pekan, itu kemudian menggeser persidangan PUU.
Lebih jauh dikatakan Harjono, Mahkamah sebenarnya tidak berwenang memutus sengketa Pemilukada sebab kewenangan tersebut tidak tertera dalam UUD 1945. Kewenagan MK adalah mengadili sengketa hasil pemilihan umum yakni Pemilu Presiden, DPR, dan DPD.
"Ini kan hasil nota kesepahaman antara MA dan MK pada tahun 2008 terkait pelaksanaan Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan mengalihkan kewenangan sengketa Pemilukada dari MA ke MK,"terang dia.
Dalam Pasal 236 Huruf c UU Pemda menyebutkan, 'Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang-undang ini diundangkan."
Harjono pun meminta agar DPR mencabut UU Nomor 12 tersebut agar penyelesaian sengkete Pemilukada tidak lagi menjadi wewenang MK.
"Jadi kalau itu mau, dicabut cabut saja undang-undang itu. Pokoknya jangan ke MK lah. Iya (suara bulat MK). Dari awal saya sudah begitu," kata dia.
Sekedar informasi, hingga akhir September lalu, PHPU masih mendominasi perkara-perkara yang ditangani MK, Jumlahnya mencapai 615 perkara. Dari jumlah itu, 593 perkara telah diputus dan 22 perkara masih dalam proses persidangan.