Kasus Century
Begini Dana Century Mengalir
sejak hari itu hingga 10 Agustus 2009, Bank Century kebobolan hingga Rp 938 miliar.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera bisa menetapkan siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam bailout Bank Century, sebelum menyentuh tokoh utamanya, yakni pejabat BI dan LPS, jika menyusun kronologi aliran dana Bank Century.
Menurut anggota Tim Pengawas Bank Century DPR RI Bambang Soesatyo, aliran dana Century adalah uang yang mengalir dari brankas Bank Century (setelah disuntik Rp 6,7 triliun) ke sejumlah nama yang tak berhak, baik individu, organisasi, perusahaan atau partai politik.
"Sebab, tak semua nasabah Bank Century berhak dan boleh menarik duit mereka. Ada 1.427 rekening yang diharamkan melakukan aktivitas penarikan dana begitu bank tersebut berstatus Dalam Pengawasan Khusus oleh Bank Indonesia pada 6 November 2008," ujar Bambang dalam rilisnya kepada Tribun, Kamis (16/8/2012).
Tapi nyatanya, justru sejak hari itu hingga 10 Agustus 2009, Bank Century kebobolan hingga Rp 938 miliar.
Pembobolan tahap pertama sebesar Rp 344 miliar terjadi pada periode 6-13 November 2008, persis saat statusnya Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance Unit/SSU).
Kebobolan yang kedua terjadi pada periode 14-21 November 2008 sebesar Rp 273,8 miliar, saat bank milik keluarga Robert Tantular itu dikucuri pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia.
Sedang kebobolan terlama adalah tahap ketiga, yang terjadi antara 24 November 2008 hingga 10 Agustus 2009, sebesar Rp 320,7 miliar alias saat bank itu sudah di-bailout pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Padahal, di periode ini, manajemen dan susnan direksi Bank Century sudah berganti.
Lantas mengapa kebobolan bisa bertubi-tubi dan tak ada seorang pun yang menghentikannya? "Dana Pihak Terkait (DPT) Sebagaimana diketahui, pada 31 Oktober dan 3 November 2008, manajemen Bank Century mengajukan pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP) kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun," terangnya lagi.
Karena pengajuan itu, maka BI mulai menempatkan para pengawasnya pada 6 November 2008, dan pada hari yang sama langsung mengeluarkan surat yang melarang penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak terkait (baik giro, tabungan, maupun deposito).
Surat Deputi Gubernur BI (DpG) No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia itu ditujukan kepada manajemen Bank Century (manajemen lama), yang memerintahkan agar tidak melayani penarikan dana dari rekening milik pihak terkait dengan bank, dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Secara normatif, surat perintah Deputi Gubernur BI ini merupakan prosedur standar yang ditujukan pada bank-bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana diatur oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
Dalam aturan tersebut, yang dimaksud dana pihak terkait (DPT) ada 16 jenis, yang kurang lebih adalah individu atau perusahaan yang terafiliasi dengan pemilik atau manajemen (lama) Bank Century, serta pihak-pihak yang memiliki hubungan bisnis dan kepemilikan saham bersama di bisnis tertentu.
Sebab, Bank Indonesia tak mungkin menyuntikkan dana ke sebuah bank yang sakit, tapi uang itu kemudian ditarik oleh pemilik sendiri dan para koleganya. Atau orang-orang yang masih memiliki urusan utang-piutang dengan pemilik.
"Tapi alih-alih diblokir, rekening-rekening DPT ini justru dibiarkan ngablak sehingga penarikan terjadi berkali-kali, dan akibatnya, dana suntikkan Bank Indonesia dan LPS tak pernah cukup untuk menyehatkan Century. Inilah salah satu penjelasan mengapa yang semula hanya dibutuhkan Rp 632 miliar untuk penyelamatan, kemudian membengkak menjadi Rp 6,7 triliun," ungkapnya.
Sebab itu, bila dijumlahkan dengan dana FPJP sebesar Rp 689 miliar dari Bank Indonesia (14-18 November 2008), maka sesungguhnya Bank Century ini sudah diguyur Rp 7,3 triliun!
Tentu saja ini ibarat mengisi tandon air tanpa pernah menutup sumber kebocorannya.
Kebocoran itu sendiri terkesan dibiarkan dan berlangsung selama berbulan-bulan di depan hidung Bank Indoensia, LPS, bahkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
Yang terjadi sebenarnya, kata Bambang, pada 14 November 2008 Bank Indonesia akhirnya mengabulkan permohonan FPJP untuk Bank Century sebesar Rp 689 miliar (dari Rp 1 triliun yang diminta). Dana tersebut lalu digunakan untuk dua jenis kebutuhan besar: pertama untuk melunasi transaksi antarbank sebesar Rp 28,2 miliar, dan keperluan pembayaran Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 661 miliar.
Artinya, begitu dikucuri FPJP, para nasabah banyak yang menarik dana melalui rekening masing-masing. Sehingga kucuran FPJP ini bak menyiram air di padang pasir. Bagian terburuknya adalah dari Rp 661 miliar duit kucuran FPJP yang ditarik para nasabah Century itu, Rp 273 miliar di antaranya adalah penarikan oleh pihak-pihak terkait yang mestinya diharamkan dan tak boleh lolos dari pengawasan Bank Indonesia.
Apalagi, Bank Indonesia sendirilah yang menetapkan peraturan dan sudah mengirim surat larangan, dan menempatkan para pengawasnya di sana. Sulit membayangkan, Bank Indonesia menggerojok Rp 689 miliar (input) tapi tak memperketat pengawasannya di jalur keluarnya uang (output).
Apakah rekening-rekening itu tidak diblokir, menurut Bambang, inilah yang menjadi keganjilan kesekian kalinya dari banyak keganjilan yang membelit kisah bail out Bank Century.
Meski surat larangan penarikan dana dari rekening pihak terkait sudah dilayangkan Bank Indonesia sejak 6 November 2008, manajemen (lama) Bank Century baru mengeluarkan memo internal 11 hari kemudian (17 November 2008), yang isinya melarang pihak-pihak terkait untuk menarik dananya, baik melalui rekening giro, tabungan atau deposito.
Tentu saja banyak hal yang bisa terjadi dalam 11 hari. Apalagi, memo internal itu tidak merinci nama dan nomor rekening pihak terkait yang dimaksud, sehingga tidak dilakukan pemblokiran. Muncul pertanyaan apakah manajemen Bank Century membangkang perintah Bank Indonesia.
Hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, blunder tentang rekening yang harus diblokir dan tidak, ada di pihak Bank Indonesia sendiri. Menurut BPK, BI tak segera memberitahu dan menetapkan rekening pihak terkait bersamaan dengan penetapan status Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana surat BI kepada Bank Century No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia, pada 6 November 2008.
Tapi BI sendiri menyatakan daftar rekening-rekening yang seharusnya diblokir menjadi tanggung jawab Bank Century. Tentu saja ini logika yang agak mengganggu. Bagaimana mungkin manajemen lama Bank Century yang mestinya dianggap tak lagi kompeten, diberi kewenangan menetapkan sendiri daftar rekening yang boleh dan tak boleh melakukan aktivitas penarikan atau pencairan.
"Bukankah manajemen lama dengan mudah akan meloloskan dan mengamankan rekening-rekening mereka sendiri? Situasi yang kacau ini berlanjut hingga periode masuknya LPS (opsi bail-out) tanggal 21 November 2008, setelah keputusan KSSK," katanya.
Begitu diambil alih LPS, Direksi Bank Century mengeluarkan memo internal kedua, pada 22 November 2008 yang memerintahkan kepada seluruh pimpinan cabang untuk memeriksa, melengkapi, dan mengaktualkan rekening-rekening pihak terkait mana saja yang seharusnya diblokir. Saat itulah, baru dilakukan pemblokiran atas 543 rekening.
Tapi metode pemblokiran yang digunakan manajemen (baru) Bank Century itu masih menggunakan pendekatan nomor rekening, sehingga bila seseorang yang terafiliasi dengan pemilik lama memiliki lebih dari satu rekening, maka rekening itu bisa saja lolos atau luput.
Padahal, ada metode pelacakan lain yang disebut sebagai Customer Indentification File (CIF), di mana memungkinkan identifikasi berbagai nomor rekening untuk setiap nasabah. Metode inilah yang kemudian digunakan BPK untuk menjaring lebih teliti lagi, rekening-rekening mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Dana Pihak Terkait (DPT).
Benar saja, dari 543 rekening yang semula ditemukan, setelah menggunakan metode CIF, ternyata bertambah menjadi 694 rekening. Itu artinya, memang ada nama-nama tertentu yang memiliki lebih dari satu rekening.
Di tengah kekacauan inilah muncul sebuah fragmen di mana seorang pengawas Bank Indonesia pada tanggal 24 November 2008 (hari pertama dimulainya suntikan Rp 6,7 triliun), berinisiatif menyerahkan data 177 CIF atau sekitar 333 rekening kepada petugas Informasi dan Teknologi di Bank Century agar melakukan pemblokiran rekening-rekening tersebut, tanpa sepengetahuan direksi baru.
Di sisi lain, para petinggi LPS juga gelisah dengan belum tuntasnya daftar negatif (negative list) atas rekening-rekening ini. Empat hari setelah di-bail-outI (27 November 2008), Kepala Eksekutif LPS mengirim surat ke Direksi Bank Century yang menegaskan kembali agar mereka tidak mencairkan dana milik pihak terkait.
Surat itu adalah tindak lanjut dari rapat yang digelar sehari sebelumnya dengan agenda pembahasan yang sama. Tapi anehnya, kepada BPK, para Direksi Bank Century mengaku menerima surat-surat perintah tentang pemblokiran rekening itu (terutama dari BI) baru pada Agustus 2009!
"Dengan demikian maka manajemen baru Bank Century menolak dipersalahkan atas keluarnya dana melalui rekening-rekening pihak terkait sepanjang November 2008 hingga Agustus 2009 yang totalnya mencapai Rp 938 miliar!" tegas Bambang.
Inilah ping-pong besar antara manajemen baru Bank Century, LPS (sebagai pemegang saham), dan BI (sebagai pengawas). Keduanya mengaku sudah mengirim surat larangan pencairan dana atas rekening-rekening tertentu sejak November 2008, sementara manajemen Bank Century merasa baru menerimanya pada Agustus 2009.
Selisihnya tak tanggung-tanggung: 9 bulan! Dan selama itu pula duit terus mengucur kepada rekening-rekening yang dianggap tidak sah.
Setelah melakukan serangkain wawancara konfrontasi ke berbagai pihak, akhirnya BPK menarik kesimpulan BI tak melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Bank Century dalam menginventarisasi maupun melakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening pihak terkait Bank Century sejak Bank Century ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus.
Tapi pejabat Bank Indonesia berkilah, pihaknya hanya berkewajiban memerintahkan bank melakukan pemblokiran dan mengawasi pelaksanaannya, tapi tidak berkewajiban menetapkan daftar pemilik rekening. Sebab, menurut BI, penetapan Dana Pihak Terkait (DPT) adalah tanggung jawab manajemen Bank Century.
Keterangan ini bertentangan dengan fakta bahwa pada 28 Januari 2009, Direktorat Pengawasan Bank (DPG) 1, Bank Indonesia, ternyata mengirim data yang berisi daftar pihak terkait Bank Century secara formal kepada Kepala Eksekutif LPS. Surat itu bernomor 11/16/DPB1/TPB1-7/Rahasia.
Itu artinya, BI punya kewenangan menetapkan data tentang pihak terkait. Dalam data BI itu ternyata ditemukan 998 rekening yang layak masuk daftar negatif.
Fakta lain, LPS pada 14 Januari 2009 juga melayangkan permohonan data pihak terkait Bank Century kepada Bank Indonesia.
Mungkinkah LPS meminta sesuatu kepada lembaga yang tidak memiliki kewajiban atau kewenangan melakukannya?
BPK sendiri berpegangan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 yang menyebut bahwa bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
- Komisi III dan LPSK Didorong Lindungi Antasari
- Pernyataan Antasari Harusnya Dibuka Saat Pansus
- Sudi Silalahi Sebut Antasari Lupa Fakta Rapat 9 Oktober 2008
- SBY Buka Transkrip Pernyataan Antasari saat 9 Oktober 2008
- Anwar Nasution Tak Ingat Rapat 9 Oktober di Istana
- Presiden SBY: Berita Ini Tidak Benar dan Menyesatkan