Kasus Sisminbakum
Yusril: Tak Ada Maksud Menyeret SBY
Yusril menjelaskan mengapa ia bersikeras agar beberapa tokoh penting, seperti Jusuf Kalla, Megawati, bahkan Presiden SBY hadir
Kemarin saya secara terbuka meminta Kejaksaan Agung agar mereka meminta SBY, Megawati, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie, untuk memberi keterangan sebagai saksi a de charge dalam perkara dugaan korupsi Sisminbakum. Permintaan ini haruslah dilihat semata-mata dalam rangka penegakan hukum, dan tidak perlu menimbulkan reaksi politik yang berlebihan, seperti ditunjukkan Tjahjo Kumolo (PDIP) dan Didi Irawadi (Demokrat). Apa yang ingin dibuktikan dalam perkara pidana adalah kebenaran materil. Jadi Jaksa harus memahami segala hal yang terkait dengan perkara, agar terhindar dari sikap sempit dalam berpikir, apalagi hanya dilandasi niat dan keinginan untuk menghukum dan menjerumuskan seseorang.
Sisminbakum adalah tindak lanjut saran Dewan Ekonomi Nasional yang disampaikan dalam sidang Kabinet Gus Dur, yang menugaskan Departemen Kehakiman mempercepat proses pengesahan perseroan terbatas. Karena tanpa itu, mustahil akan ada investasi dan penyerapan tenaga kerja untuk memulihkan perkonimian yang hancur akibat krisis 1997. Pemerintah RI juga telah melayangkan letter of intent yang ditandatangani Menko Ekuin Kwik Kian Gie, Menkeu Bambang Sudibyo dan Gubenur BI Syahril Sabirin, berisi komitmen Pemerintah RI untuk mempercepat "company registration", yang proyeknya harus diselesaikan dalam setahun. Dari awal proyek Sisminbakum disepakati adalah investasi swasta dengan sistem BOT. Negara dalam situasi krisis, tak tersedia anggaran untuk itu dalam pos APBN yang memang sulit. Dimanapun namanya proyek BOT, memang tidak mungkin dikenakan PNBP.
Kesaksian Kwik, JK, Mega dan SBY sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran materil kasus ini. Menurut UU PNBP, kewenangan untuk menetapkan apa saja yang menjadi PNBP pada sebuah instansi pemerintahan, adalah kewenangan Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah atas usul Menteri Keuangan. Gus Dur dan Mega tidak pernah memasukkan biaya akses Sisminbakum yang kini dianggap korupsi, sebagai PNBP. SBY dua kali merubah PP tentang PNBP di Departemen Kehakiman, dan tidak pernah pula memasukkannya sebagai PNBP. SBY baru menerbitkan PP yang menyatakan biaya akses itu sebagai PNBP setelah Prof. Rmly Atmasasmita dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu diterangkan oleh Mega dan SBY agar kebenaran materil terungkap dengan sejelas-jelasnya.Gus Dur sudah wafat, sehingga tidak mungkin dihadirkan sebagai saksi.
Tidak ada maksud saya menyeret-nyeret Mega dan SBY ke dalam perkara ini, kecuali meminta mereka menerangkan duduk persoalan PNBP biaya akses Sisminbakum. Keduanya tidak mungkin diseret ke dalam perkara, karena apapun pertanyaan Jaksa, misalnya mengapa mereka tidak memasukkan biaya akses itu ke dalam PNBP, Mega dan SBY cukup mengatakan bahwa itu adalah kewenangannya sebagai Presiden yang tidak dapat dipermasalahkan oleh penyidik Kejaksaan Agung. Tidak mungkin Mega dan SBY akan ditarik ke dalam perkara. Namun demi menghormati proses hukum dan teganya hukum, kesaksian mereka amat penting. Tidak benar anggapan Tjahjo dan Didik bahwa soal pengambilan keputusan melaksanakan Sisminbakum oleh Menteri Kehakiman adalah soal teknis. Menteri, sebagaimana juga Presiden adalah pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, bukan pejabat teknis seperti Dirjen.
Pak SBY selama ini kita kenal sebagai pemimpin yang taat hukum dan berkomitmen untuk menegakkan hukum, khususnya dalam memberantas korupsi. Saya dukung beliau dengan sikapnya itu. Kalau memang kasus itu korupsi, maka hukumlah. Namun sebaliknya, jika itu memang bukan korupsi, Presiden juga harus berani mengatakan bahwa itu bukan korupsi, sehingga tidak ada orang yang perlu diadili ke pengadilan.Ini namanya sikap adil dan bijak dari seorang pemimpin. Dengan demikian, saya berharap saya akan terhindar dari segala bentuk kezaliman dengan mengatas-namakan hukum.