Senin, 29 September 2025

Mengenal Istilah Toxic Charity, Kecenderungan yang Dikhawatirkan Jadi Daya Rusak

Toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung.

Penulis: Reza Deni
Istimewa
ILUSTRASI BANTUAN KEMANUSIAAN - Toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung dan kehilangan daya juang. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah kebiasaan yang kentara di depan muka publik bisanya kerap diartikan sebagai sesuatu yang sangat mulia. Namun di sisi lain, hal tersebut bisa memiliki daya rusak yang sangat luar biasa. 

Demikian dikatakan Founder Restorasi Jiwa Indonesia Syam Basrijal. Dia mengistilahkannya sebagai Toxic Charity.

Baca juga: Webinar Toxic atau Asik?, Langkah BPJS Ketenagakerjaan Dorong Kesadaran K3 dan Kesehatan Mental

Toxic Charity adalah istilah yang merujuk pada praktik pemberian bantuan yang tampak baik di permukaan, tetapi justru berdampak negatif bagi penerima dalam jangka panjang.

Dalam pandangannya, toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung dan kehilangan daya juang.

Baca juga: Nathania Ardelia Rilis ‘Harus Pergi’, Bawa Pesan untuk Orang yang Terjebak dalam Hubungan Toxic

Syam menegaskan tidak menyalahkan kegiatan berbagi dan memberi yang dikenal sebagai core of mentality dari manusia, yakni empati. Hanya saja ketika pemberian itu dilakukan ala kadarnya.

"Memberi bantuan instan memang tampak heroik, tetapi jika dilakukan terus-menerus tanpa pendidikan kesadaran, hasilnya bukanlah kemandirian, melainkan ketergantungan yang kronis," kata Syam dalam keterangannya, Sabtu (13/9/2025).

Restorasi Jiwa Indonesia adalah sebuah gerakan kesadaran kolektif yang dipelopori oleh Syam Basrijal, seorang motivator dan praktisi kesadaran holistik. 

Gerakan ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan jiwa bangsa, terutama di tengah gejolak sosial, provokasi politik, dan krisis moral yang melanda masyarakat.

Syam mengingatkan, bahwa toxic charity sering lahir dari niat baik yang tidak disertai pandangan jauh ke depan. Semuanya berbasis jangka pendek karena bisa jadi berawal dari empati semata, tanpa ada konstruksi sosial yang jelas.

"Ketika melihat orang miskin, segera diberi uang; ketika melihat anak putus sekolah, langsung diberi sembako. Semua tampak cepat dan praktis, namun sesungguhnya menumbuhkan mental miskin: pola pikir yang terus merasa kurang, lemah, dan harus selalu ditolong," tutur Syam.

Lebih buruk lagi, dia menegaskan bahwa toxic charity dapat melahirkan mental korban, di mana muncul jiwa yang selalu merasa menjadi objek belas kasihan, tanpa berani mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Fenomena yang dapat dijadikan contoh konkret adalah konsep Bantuan Sosial (Bansos) yang terjadi di kalangan masyarakat politik saat ini, khususnya di kalangan pedesaan. 

Menurutnya, konsep bansos menjadi jaring pengaman darurat bagi kebutuhan jangka pendek masyarakat, kini malah cenderung berubah menjadi candu politik. 

Dalam jangka panjang, ia mengingatkan ini adalah situasi yang sangat berbahaya bagi mentalitas bangsa Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah.

Baca juga: Sifat Toxic Kelasi Satu J, Oknum TNI AL yang Diduga Bunuh Wartawati Juwita: Cemburuan-Temperamental

"Alih-alih memberdayakan rakyat, ia menjadikan mereka pasif menunggu kapan bantuan berikutnya datang. Budaya ini secara halus mencetak generasi yang terbiasa menengadah, bukan berani berdiri. Di sinilah racun toxic charity bekerja, pelan tapi pasti melemahkan martabat," terangnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan