Pembekuan USAID Berpotensi Ganggu Sistem Kesehatan di Indonesia dan Asia Tenggara
USAID selama puluhan tahun menjadi salah satu aktor utama dalam pembangunan global, terutama di sektor kesehatan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penutupan operasional United States Agency for International Development (USAID) serta pemangkasan besar-besaran pendanaannya oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dinilai membawa dampak serius terhadap sistem kesehatan publik. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga kawasan Asia Tenggara.
Baca juga: Kemenkes RI Akui Pengobatan Pasien TBC, HIV/AIDS dan Malaria Terganggu Akibat Pembekuan USAID
Menurut Epidemiolog dan Pakar Keamanan Kesehatan Global, Dr Dicky Budiman, PhD. USAID selama puluhan tahun menjadi salah satu aktor utama dalam pembangunan global, terutama di sektor kesehatan.
Program-program seperti penguatan sistem pelayanan kesehatan primer, penanggulangan Human Immunodeficiency Virus (HIV), malaria, hingga kesiapsiagaan pandemi dan respons kemanusiaan sangat bergantung pada dukungan lembaga ini.
Menurutnya, penutupan USAID mengancam ketahanan kesehatan masyarakat karena selama ini lembaga donor itu berperan besar dalam mendukung sistem kewaspadaan dini di berbagai negara berkembang.
"USAID ini adalah donor kunci untuk penguatan sistem kewaspadaan dini atau E-WARS baik itu laboratorium juga dan juga sistem surveillance," jelas Dicky saat dihubungi Tribunnews, Kamis (3/7/2025).
Tanpa dukungan USAID, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan kesulitan mendeteksi dan merespons penyakit menular secara cepat.
Indonesia termasuk yang berpotensi terdampak, mengingat alokasi anggaran kesehatan nasional dinilai masih sangat terbatas. Dampak lainnya adalah terganggunya program pengendalian penyakit menular. Ketersediaan obat, alat diagnostik, serta intervensi komunitas berisiko terhenti.
Baca juga: Penanganan TBC di Indonesia Tetap Jalan meski Ada Efisien Anggaran dan Pembekuan Dana USAID
Hal ini bisa menyebabkan lonjakan kasus penyakit seperti tuberkulosis (TB), resistensi obat, hingga kemunduran pencapaian dalam pengendalian HIV/AIDS.
Dicky juga menyoroti potensi terjadinya krisis pembiayaan pelayanan dasar di sejumlah wilayah yang selama ini bergantung pada bantuan USAID.
Wilayah seperti Indonesia bagian timur, Laos, Kamboja, dan Timor Leste selama bertahun-tahun mengandalkan lembaga tersebut dalam hal program imunisasi, kesehatan ibu dan anak, serta sanitasi.
"Ini akan menjadikan risiko peningkatan kematian yang sebetulnya bisa dicegah," imbuhnya.
Dalam jangka panjang, ia memperkirakan akan muncul kesenjangan besar dalam pendanaan program kesehatan masyarakat, terutama di sektor pencegahan dan komunitas.
Tak hanya itu, potensi dominasi aktor-aktor non-demokratik dalam menentukan arah kebijakan kesehatan juga menjadi perhatian. Sebagai respons atas kondisi ini, Dr Dicky mengusulkan lima langkah strategis bagi Indonesia.
Baca juga: Trump Berniat Beri Cuti ke Semua Pekerja USAID, Sambil Memproses PHK Ribuan Staf
Yaitu diversifikasi mitra dan sumber pendanaan, penguatan diplomasi kesehatan regional, transformasi anggaran kesehatan nasional ke arah preventif, investasi di bidang ketahanan teknologi kesehatan nasional, serta penguatan peran masyarakat sipil dan pemerintah daerah.
"Kita harus bangun kemitraan strategis dengan Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia atau bahkan filantropi global seperti Gates Foundation, Welcome Trust, ADB dan World Bank," ujarnya.
Penguatan masyarakat sipil juga menjadi krusial, mengingat ketergantungan pada donor eksternal tak bisa lagi dijadikan sandaran utama. Organisasi lokal perlu diperkuat dalam hal manajemen, advokasi, dan kolaborasi demi mendorong kemandirian sektor kesehatan Indonesia di masa depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.