Terapi SABA Tunggal Tidak Lagi Direkomendasikan untuk Pengobatan Asma, Ini Alasannya
Sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan SABA jangka panjang dapat meningkatkan risiko eksaserbasi hingga kematian
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terapi SABA (Short-acting beta-agonists) tunggal tidak lagi direkomendasikan sebagai pengobatan asma, karena hanya meredakan gejala sementara tanpa mengatasi peradangan sebagai penyebab utama penyakit.
Sebagai gantinya, pedoman Global Initiative for Asthma (GINA) 2025 merekomendasikan penggunaan terapi berbasis pelega antiinflamasi.
Ini adalah kombinasi Inhaled Corticosteroid (ICS) –formoterol, yang dapat meredakan gejala secepat dan seefektif Short-acting beta-agonists (SABA), sekaligus bekerja mengurangi peradangan yang mendasari munculnya gejala asma.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan SABA jangka panjang dapat meningkatkan risiko eksaserbasi hingga kematian.
Karena itu, pendekatan terapi kombinasi ICS–formoterol kini direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama asma untuk tatalaksana asma yang lebih baik.
Baca juga: Cegah Serangan Akut, Ini Terapi yang Dianjurkan untuk Pasien Asma
Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay mengatakan, bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), pihaknya melaksanakan sosialisasi pedoman terbaru GINA dalam rangka peningkatan kapasitas teknis nakes di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Kegiatan sosialisasi ini diikuti sekitar 500 dokter dan mengacu pada pedoman GINA 2025.
Dengan kolaborasi lintas sektor, dia optimistis pendekatan baru dalam tata laksana asma ini dapat membantu lebih banyak pasien di Indonesia menjalani hidup yang lebih baik, aktif dan terbebas dari serangan berulang.
“Kami mendukung transisi ke pendekatan pengobatan asma yang lebih holistik dan berorientasi pada pencegahan dan pengendalian agar lebih banyak pasien dapat hidup lebih sehat, aktif, dan bebas dari kekambuhan,” ungkap Esra Erkomay dikutip Senin, 23 Juni 2025.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah terus berupaya memperkuat layanan penanganan asma melalui upaya promotif, preventif, serta pendekatan pengobatan yang berkelanjutan.
Termasuk di dalamnya pula, peningkatan kualitas layanan di puskesmas sebagai garda terdepan.
"Kolaborasi dengan mitra seperti AstraZeneca menjadi bagian penting dalam memperluas akses layanan asma yang komprehensif dan sesuai dengan pedoman terbaru," kata Nadia.
Nadia menambahkan, Kemenkes bersama PDPI telah menyelenggarakan sesi edukasi bagi 400– 500 dokter spesialis paru dengan tema Make Inhaled Treatments Accessible for All.
Kegiatan ini menekankan pentingnya penggunaan terapi inhalasi yang tepat, serta membahas risiko penggunaan SABA tunggal dan tata laksana asma jangka panjang dan eksaserbasi sesuai GINA 2025.
Sekretaris Jenderal PDPI Anna Rozaliyani menambahkan, kolaborasi PDPI dan AstraZeneca akan memperkuat pemahaman klinis dan mendorong implementasi penatalaksanaan asma yang lebih komprehensif sesuai pedoman global.
Baca juga: Lagi Batuk Pilek, Bagaimana Cara Membedakan Itu Sakit Covid-19, Flu, RSV, Alergi dan Asma?
Profil Afriansyah Noor, Calon Wamenaker Baru Pengganti Immanuel Ebenezer, Bakal Dilantik Sore Ini? |
![]() |
---|
Tito Karnavian Datangi Istana Jelang Reshuffle Kabinet, Benarkan Prabowo Sudah Tunjuk Menkopolkam |
![]() |
---|
Kronologi Siswa Pukul Wakasek di SMAN 1 Sinjai: Pelaku Dikeluarkan, Korban Alami Trauma |
![]() |
---|
Dari Panggung ke Kampus, Arzeti Bilbina Resmi Sandang Status Dosen Tetap |
![]() |
---|
5 Personel Brimob Pelindas Ojol Affan Belum Disidang Etik, Ini Penjelasan Polri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.