Kurang Fokus dan Kurang Sosialisasi Jadi Tantangan Terbesar Gen Alpha Bagaimana Cara Mengatasinya?
Gen Alpha akrab dengan gawai sejak usia dini, terbiasa dengan game online, video pendek, dan layanan streaming.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Generasi Alpha, yaitu anak-anak yang lahir mulai tahun 2010 hingga sekarang, tumbuh dalam dunia yang penuh dengan teknologi digital.
Mereka akrab dengan gawai sejak usia dini, terbiasa dengan game online, video pendek, dan layanan streaming.
Namun, di balik keunggulan mereka sebagai “digital native”, ada tantangan besar yang mulai mengkhawatirkan.
Salah satunya adalah kemampuan fokus dan pengelolaan emosi yang menurun.
Psikolog Anak Ayoe Sutomo, M.Psi, menyebut Gen Alpha menghadapi situasi yang sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya.
“Attention span-nya jadi makin terbatas. Yang ada lama sedikit, kemudian bosan, dia mundur. Nah, kaitannya lagi, kalau kemudian attention span-nya terbatas, gitu kan ya, kayak kita tadi bilang, terhadap emosi, gitu kan ya,” ujarnya dalam konferensi pers Diamond Milk UHT Raising Alpha Generation di Scienta Square Park, Tangerang Selatan, Sabtu (27/9/2025).
Generasi Alpha tumbuh dalam dunia serba cepat. Hanya dengan satu klik, mereka bisa mendapatkan hiburan, jawaban, atau bahkan barang yang diinginkan.
Kebiasaan ini membuat mereka terbiasa dengan respons instan. Saat menghadapi dunia nyata yang tidak selalu sesuai dengan keinginan, mereka lebih mudah frustrasi.
“Kan terbiasa kan semuanya minta apa, persediaannya cepat, gitu kan. Nah, langsung, gitu kan. Itu padahal tidak suitable untuk real life,” tambah Ayoe.
Kondisi ini bisa berdampak jangka panjang pada daya tahan mental. Anak menjadi lebih mudah marah, sulit menunda kepuasan, dan rentan terhadap stres ketika menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Kurang Koneksi Sosial, Kurang Motivasi
Di balik derasnya paparan digital, ada aspek lain yang jarang dibicarakan, yaitu keterbatasan koneksi sosial.
Ayoe menekankan, motivasi anak tidak hanya muncul dari hadiah atau gadget, melainkan dari rasa keterhubungan dengan orang lain.
“Orang bisa termotivasi itu kan ketika dia ada relativeness dengan orang lain, kemudian terkoneksi,” jelasnya.
Baca juga: Generasi Beta, Julukan bagi Anak yang Lahir Mulai Tahun 2025, Ini Bedanya dengan Gen Z dan Gen Alpha
Sayangnya, terlalu banyak waktu di dunia digital membuat ruang bagi interaksi sosial berkurang.
Akibatnya, anak berisiko tumbuh dengan motivasi yang rapuh karena tidak terbiasa membangun hubungan nyata dengan teman sebaya atau lingkungan sekitar.
Attention Span yang Memendek, Bagaimana Implikasinya?
Potensi Generasi Alpha dan Beta Bisa Terasah dengan Metode Belajar Multi-Learning Connection |
![]() |
---|
BINUS SCHOOL Serpong Patahkan Stigma Negatif Generasi Stroberi lewat School Production Kreatif |
![]() |
---|
Generasi Beta, Julukan bagi Anak yang Lahir Mulai Tahun 2025, Ini Bedanya dengan Gen Z dan Gen Alpha |
![]() |
---|
Gen Alpha Picu Tren Penggunaan Teknologi AI untuk Menganalisis Permasalahan Kulit |
![]() |
---|
Songsong Indonesia Emas 2045, HNW Ajak PP Ikatan Guru Raudhatul Athfal Selamatkan Generasi Alpha |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.