Rabu, 1 Oktober 2025

Marak Aborsi dan Kriminalisasi Petugas Kesehatan, KSRI Desak Kemenkes Terapkan PP 61 Tahun 2014

Maraknya kasus aborsi, menurut KSRI, justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi

Editor: Willem Jonata
Ahmad Zaimul Haq/Surya
Ilustrasi diperagakan oleh model 

Namun di sisi lain hukum di Indonesia justru mempidanakan aborsi yang semestinya menjadi layanan kesehatan.

Kurangnya pemahaman APH terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap kekerasan seksual yang berujung pada KTD menjadikan APH justru memukul rata tindakan aborsi untuk dipidanakan tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal.

Pandemi COVID-19 menambah kerentanan perempuan. LBH APIK melaporkan perempuan menjadi lebih rentan terdampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada masa pandemi COVID-19.

Ini besar kemungkinannya berakibat pada meningkatnya angka KTD. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada melumpuhnya sumber pendapatan atau lebih jauh berdampak pada pemiskinan perempuan.

Adanya keterbatasan pendapatan tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih jika harus merawat kehamilannya dengan baik.

Beberapa lembaga yang menerima pengaduan terkait situasi kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan, menyebutkan terjadi peningkatan kebutuhan aborsi dengan metode yang aman yang disebabkan oleh situasi mereka yang dimiskinkan dan kekerasan seksualitas yang dialami.

Dengan memperluas akses layanan aborsi aman, AKI dan kesakitan perempuan dapat diturunkan, sehingga ketersediaan layanan aborsi aman justru dapat menyelamatkan jiwa perempuan di Indonesia.

Selain itu, layanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas.

Dalam hal ini, pemerintah diharapkan memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif dan menjaga konfidensialitas.

Oleh karenanya KSRI mendesak Kementrian Kesehatan untuk menyediakan (Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial) PKRE --termasuk layanan aborsi aman dan pascaaborsi--sesuai pedoman pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di tingkat pelayanan kesehatan dasar sebagai panduan pemberian layanan yang disusun berdasarkan kajian literatur ilmiah (evidence based medicine).

Selanjutnya, KSRI juga mendesak agar Kementerian Kesehatan segera mengimplementasikan PP 61 tahun 2014 dan PMK 3/2016 untuk memastikan pemberian layanan aborsi aman terhadap perempuan.

Kementerian Kesehatan juga diharapkan berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memberikan perlindungan penuh terhadap korban, tenaga kesehatan, penyedia layanan, dan pendamping korban, salah satunya dengan menjamin kerahasiaan data dan identitas.

Selanjutnya, memastikan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan pemberian informasi terkait kehamilan tidak diinginkan dan atau tidak direncanakan, termasuk penyusunan pedoman dan panduan klinis medis aborsi aman, serta proses monitoring dan evaluasi pelaksanaannya.

Kementerian Kesehatan diminta menginisiasi amandemen parsial terhadap UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan untuk pengecualian aborsi terkait usia kehamilan dan tidak sebatas dalam pengecualian aborsi yang tercantum.

Tak hanya itu, KSRI mendesak Aparat Penegak Hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap pemberi layanan, pendamping, dan perempuan.

KSRI juga mendesak media untuk mengedepankan pemberitaan berperspektif korban dan tidak menambah stigma terhadap aborsi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved