Kamis, 2 Oktober 2025

Marak Aborsi dan Kriminalisasi Petugas Kesehatan, KSRI Desak Kemenkes Terapkan PP 61 Tahun 2014

Maraknya kasus aborsi, menurut KSRI, justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi

Editor: Willem Jonata
Ahmad Zaimul Haq/Surya
Ilustrasi diperagakan oleh model 

Lalainya negara dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi berdampak pada perempuan yang ingin mencapai kondisi sehat yang justru mengalami kriminalisasi, stigma, atau terpaksa mencari layanan yang membahayakan nyawa dan kesehatannya.

Minimnya informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu akar persoalan dari tingginya angka kehamilan tidak diinginkan/direncanakan (KTD) dan aborsi.

Ditambah, tenaga kesehatan dan penyedia layanan yang diharapkan bisa menyelamatkan nyawa perempuan atau mengurangi risiko kematian justru harus bekerja di bawah bayang-bayang kriminalisasi.

Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 1 dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan (2015) menyebutkan aborsi tidak aman menambah Angka Kematian Ibu.

Kasus induksi aborsi yang tidak aman telah menyumbang 4% kematian ibu di Indonesia (Sensus Penduduk, 2010).

Selain kematian, aborsi tidak aman juga menyumbang tingginya angka morbiditas perempuan. Pemerintah Indonesia seharusnya lebih tanggap dengan fakta bahwa terdapat 2 juta kasus induksi aborsi setiap tahunnya (PPK UI, 2000) dan 49,4% upaya inisiasi aborsi dilakukan oleh diri sendiri (Riskesda, 2010).

Hal ini disebabkan oleh ketiadaan layanan reproduksi bagi perempuan yang membutuhkan, bahkan kriminalisasi terhadap perempuan dan pemberi layanan.

Baca: Cara Keji Klinik Aborsi di Senen Musnahkan Janin yang Sudah Berbentuk Bayi

Alasan yang melatarbelakangi aborsi sangat beragam. Laporan layanan konseling KTD selama 2000-2014 menyebutkan terdapat 118.756 kasus KTD (23 perempuan per hari mengalami KTD); 40% di antaranya sudah pernah mengakses layanan aborsi tidak aman.

Selain itu, 81% dari 118.756 yang datang untuk konseling KTD adalah pasangan menikah dengan alasan gagal KB dan sudah tidak ingin menambah anak.

Persoalan kontrak kerja yang melarang perempuan untuk hamil juga menjadi dasar bagi perempuan untuk mengakses layanan aborsi.

Baca: Terbongkar Klinik Aborsi Ilegal di Jakarta Pusat, Total Setahun 2.638 Orang Gugurkan Kandungan

Tingginya kasus KTD ini juga didukung oleh data SDKI 2017 yang menyatakan bahwa 15% kelahiran pada perempuan usia 10-49 tahun di Indonesia berasal dari kehamilan yang tidak diinginkan (SDKI, 2017).

Data ini dapat dimaknai bahwa aborsi merupakan upaya untuk bisa mencapai kondisi sehat yang menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.

Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia. Namun aturan hukum tersebut inkonsisten.

Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved