Konflik Palestina Vs Israel
Trump Enggan Bahas Rencana Israel, tapi Sebut 'Hamas Tak Boleh Ada di Gaza'
Trump enggan membahas rencana Israel untuk menyerang lebih intens dan menduduki Kota Gaza, tapi sebut Hamas tak boleh tetap ada di Jalur Gaza.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menolak mengatakan apakah dia mendukung operasi yang direncanakan Israel untuk menyerang dan menduduki Kota Gaza.
Trump memutuskan untuk tidak campur tangan dan membiarkan Israel melanjutkan langkah sebagaimana yang dianggapnya baik.
Namun ia menegaskan kelompok perlawanan Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), tidak boleh berada di Jalur Gaza untuk tetap memerintah di sana.
"Israel harus memutuskan langkah selanjutnya, apakah mereka akan mengizinkan Hamas tetap berada di Gaza, dan menurut saya, mereka tidak bisa tetap di sana," kata Trump dalam wawancara singkat dengan Axios pada hari Senin (11/8/2025).
"Saya hanya punya satu pesan: Ingat 7 Oktober, ingat 7 Oktober," tegasnya, merujuk pada serangan yang dilancarkan Hamas dalam Operasi Banjir Al-Aqsa.
Dalam wawancara itu, Trump mengatakan Hamas mungkin akan membebaskan para sandera kecuali situasinya berubah drastis.
Trump mengatakan ia telah berbicara via telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu, di mana mereka membahas rencana untuk situasi saat ini.
Pekan lalu ketika ditanya pendapatnya tentang usulan para pemimpin Israel untuk menduduki Jalur Gaza, Trump menjelaskan prioritas AS adalah menyalurkan bantuan kepada rakyat Palestina di kawasan itu.
"Saya tidak tahu apa usulan itu, tetapi yang saya tahu adalah bahwa kami sekarang berusaha memberi makan rakyat, dan seperti yang Anda ketahui, Amerika Serikat baru-baru ini menyediakan $60 juta untuk persediaan dan perbekalan makanan," kata Donald Trump pada hari Rabu (6/8/2025).
Beberapa pemimpin militer senior Israel menentang serangan yang direncanakan itu sebagian karena mereka khawatir serangan itu akan membahayakan nyawa para sandera Israel.
Namun, kantor perdana menteri Israel menegaskan bahwa militer Israel siap melaksanakan keputusan apa pun yang dibuat di tingkat kabinet politik-keamanan.
Baca juga: Wasiat Terakhir Anas al-Sharif, Jurnalis Gaza yang Gugur dalam Serangan Israel
"Militer siap melaksanakan keputusan apa pun yang dibuat oleh kabinet politik-keamanan," bunyi pernyataan kantor Netanyahu pada hari Rabu sebelum rapat yang membahas hal tersebut dimulai.
Rencana Israel tersebut menghadapi reaksi keras internasional mengingat bencana kemanusiaan yang telah terjadi di Gaza
Walaupun Trump menolak mengatakan apakah dia mendukung operasi yang direncanakan, dia tampaknya setuju dengan argumen Netanyahu bahwa tekanan militer lebih besar terhadap Hamas diperlukan.
"Mereka membahas rencana Israel untuk merebut kendali atas sisa benteng Hamas di Gaza guna mengakhiri perang dengan membebaskan para sandera dan mengalahkan Hamas," kata kantor perdana menteri Israel, menyatakan tentang panggilan telepon antara Trump dan Netanyahu pada hari Minggu.
Netanyahu menambahkan dalam konferensi pers pada hari Minggu bahwa ia telah meminta pasukan Israel untuk menyampaikan rencana untuk mengambil alih kendali Kota Gaza.
Pejabat Israel mengindikasikan bahwa perencanaan dan evakuasi warga sipil Palestina dari Kota Gaza dapat memakan waktu beberapa minggu.
Upaya pendudukan Israel di Jalur Gaza pernah diungkapkan oleh Netanyahu dengan alasan "mengendalikan keamanan" di kawasan itu agar tidak ada kelompok perlawanan yang mengancam Israel.
Pada November 2023, Netanyahu mengatakan Israel akan mengambil alih kendali keamanan di Jalur Gaza bahkan jika perlawanan Palestina dan Israel telah menyepakati perjanjian gencatan senjata dan perang di Gaza selesai.
Pada Februari 2025, Trump mengusulkan untuk memindahkan rakyat Palestina dari Jalur Gaza ke negara atau wilayah lain dan menggantinya dengan 'Riviera Timur Tengah'.
Netanyahu menyambut usulan Trump saat itu dan bermaksud mengeluarkan warga Palestina dari Jalur Gaza dengan skema "migrasi sukarela", sebuah rencana yang dikecam oleh masyarakat internasional, lapor Al Jazeera.
Sejak Maret 2025, Israel menerapkan blokade total di Jalur Gaza, melarang masuknya bantuan kemanusiaan seperti makanan, minuman, dan obat-obatan, menyebabkan krisis kelaparan semakin parah di wilayah tersebut.
Setelah mendapat kecaman internasional, Israel bersama sekutunya, AS, membentuk badan khusus bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF), badan khusus untuk menyalurkan bantuan di beberapa titik strategis, antara lain Koridor Netzarim dekat Kota Gaza, penyeberangan Zikim di Gaza utara, Rafah, serta Koridor Morag di Gaza selatan.
GHF, yang mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir, hampir menjadi satu-satunya sumber makanan bagi penduduk di sana dan jumlah bantuan yang disalurkan lewat GHF sangat terbatas.
Israel menembaki warga Palestina yang mengantre bantuan, menewaskan ratusan orang antara bulan Maret hingga Juli 2025.
Pada akhir Juli 2025, Israel mulai memperbolehkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, meski jumlahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan jutaan warga Palestina.
Setidaknya 188 orang Palestina termasuk 94 anak-anak, meninggal dunia akibat kelaparan yang parah di Jalur Gaza.
Sementara AS, yang memasok senjata ke Israel, memposisikan diri sebagai pahlawan dengan Trump yang menyoroti bantuan kemanusiaan yang dikirim AS ke Jalur Gaza.
Sekutunya, Israel, menyalahkan Hamas atas memburuknya situasi di Jalur Gaza sebagai akibat dari Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 ketika mereka membobol pertahanan di perbatasan Jalur Gaza dan Israel selatan.
Pada hari operasi militer itu, kelompok perlawanan Palestina termasuk Hamas menahan sekitar 250 orang dari perbatasan Israel, termasuk anggota militer Israel.
Hamas mengatakan operasi itu bertujuan untuk melawan rencana Israel yang ingin melanggengkan pendudukannya di Palestina sejak pendirian Israel pada tahun 1948 dan mengambil alih kompleks Masjid Al-Aqsa.
Per 22 Juni 2025, Israel mengatakan dari sejumlah sandera yang dibebaskan, 50 di antaranya masih ditawan di Gaza.
Dari jumlah tersebut, 49 orang ditahan pada 7 Oktober 2023 dan satu sandera (Hadar Goldin) telah ditawan di Gaza sejak 2014.
Sementara itu, Israel mengklaim pemblokiran jalur masuk bantuan ke Jalur Gaza bertujuan menekan Hamas untuk menyerah, namun nyatanya hanya memperburuk situasi dan menyebabkan kelaparan massal, tak hanya menimpa warga Gaza tapi juga para sandera.
Sementara delegasi Israel dan Hamas belum menemukan kesepakatan dalam perundingan gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir dan Qatar di Doha, Qatar.
Israel masih melanjutkan serangannya di Jalur Gaza, membunuh lebih dari 61.400 warga Palestina dan melukai lebih dari 152.850 orang dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Selain itu, lebih dari 9.000 orang hilang, serta ratusan ribu orang mengungsi dan kelaparan hingga meninggal dunia, termasuk puluhan anak-anak per hari Sabtu (9/8/2025).
Israel juga membunuh 238 jurnalis selama genosida, dalam upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran dan menyembunyikan kekejaman yang dilakukannya, lapor Anadolu Agency.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.