Minggu, 5 Oktober 2025

Bayar untuk Kerja, Anak Muda di China Rela Rogoh Kocek Demi Tampil Produktif

Pada Juni 2025, tingkat pengangguran anak muda di Tiongkok tercatat 14,5 persen, hanya sedikit membaik dari 14,9 persen pada Mei. 

Freepik
ILUSTRASI KANTOR - Foto ini diambil dari Freepik pada Senin (11/8/2025) menampilkan ilustrasi kantor. Pada Juni 2025, tingkat pengangguran anak muda di Tiongkok tercatat 14,5 persen, hanya sedikit membaik dari 14,9 persen pada Mei.  

TRIBUNNEWS.COM - Di tengah lesunya ekonomi China, krisis pengangguran kaum muda terus menjadi perhatian. 

Pada Juni 2025, tingkat pengangguran anak muda di Tiongkok tercatat 14,5 persen, hanya sedikit membaik dari 14,9 persen pada Mei. 

Meski lebih rendah dari rekor 21,3 persen pada Juni 2023, angka ini tetap menunjukkan betapa sulitnya generasi muda di sana menemukan pekerjaan yang stabil.

Rata-rata tingkat pengangguran anak muda selama periode 2021 hingga 2025 berada di angka 16,53 persen.

Banyak faktor yang berperan, mulai dari pelemahan sektor properti, pengetatan regulasi teknologi, serta ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan pasar kerja. 

Hasilnya, jutaan lulusan baru berebut pekerjaan dalam pasar yang semakin menyempit.

Tekanan dari keluarga, masyarakat, hingga kampus membuat banyak anak muda tidak punya ruang untuk 'tidak bekerja', meskipun pekerjaan nyata tak kunjung datang. 

Maka, sebagian dari mereka memilih solusi ekstrem: membayar agar bisa 'terlihat' bekerja.

Fenomena 'Kantor Palsu'

Di kota Dongguan, sebuah perusahaan bernama Pretend To Work Company menjadi tempat pelarian bagi anak-anak muda seperti Shui Zhou, 30 tahun, yang gagal menjalankan bisnis kuliner pada 2024. 

Sejak April 2025, ia rutin membayar 30 yuan atau sekitar Rp 38.000 per hari hanya untuk bisa bekerja di kantor tiruan ini.

Baca juga: Terbongkar! Banyak Pemilik Properti China di Jepang Tidak Bayar Pajak Dengan Benar

"Saya merasa sangat bahagia. Rasanya seperti kita bekerja sama sebagai satu kelompok," kata Zhou, dikutip dari BBC.

Ia kini menghabiskan harinya dengan mengerjakan proyek pribadi, mengasah keterampilan AI, dan berkumpul dengan sesama 'rekan kerja' lainnya, meskipun tidak ada yang secara resmi dipekerjakan.

Baca juga: Nego Tarif Memanas, Trump Tuntut China Tingkatkan Pembelian Kedelai dari AS hingga 4 Kali Lipat

Fenomena serupa kini menjamur di Shanghai, Shenzhen, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. 

Kantor-kantor ini menyediakan komputer, Wi-Fi, ruang rapat, bahkan minuman dan makan siang. 

Biayanya berkisar 30–50 yuan per hari (sekitar Rp65.000 – Rp110.000).

Tak hanya duduk dan berpura-pura, beberapa peserta benar-benar memanfaatkan waktu ini untuk mencari pekerjaan, belajar skill baru, atau memulai bisnis daring.

Bagi banyak dari mereka, 'berpura-pura kerja'lebih baik daripada terlihat menganggur.

Pendiri 'Kantor Palsu': Uang Bukan Tujuan Utama

Pendiri Pretend To Work Company, yang dikenal dengan nama samaran Feiyu, mengatakan bahwa motivasi utamanya bukan uang, tapi eksperimen sosial. 

“Yang saya jual bukan meja kerja, tapi martabat. Tempat ini memberi mereka alasan untuk bangun pagi,” ujarnya.

Feiyu sendiri pernah mengalami depresi setelah kehilangan bisnis selama pandemi.

Ia paham betul rasa tidak berdaya saat kehilangan arah.

Pada April 2025, ia mulai membuka kantor pura-pura ini dan dalam sebulan semua stasiun kerja penuh.

Feiyu mengatakan bahwa profil pelanggannya pun beragam.

Seperti, 40 persen adalah lulusan baru yang membutuhkan bukti magang untuk mendapatkan ijazah.

Sementara 60 persen sisanya adalah freelancer, penulis daring, pekerja e-commerce dan digital nomad (orang yang bekerja secara remote).

Mereka datang bukan hanya untuk 'pura-pura sibuk', tapi juga untuk menghindari tekanan keluarga, menjaga rutinitas, dan membangun koneksi sosial.

Menjaga Harga Diri, Menekan Stres

Menurut Dr. Biao Xiang, direktur Institut Max Planck untuk Antropologi Sosial, tren ini berakar dari “frustrasi dan ketidakberdayaan” generasi muda China.

“Berpura-pura bekerja menciptakan ruang aman psikologis di tengah tuntutan masyarakat yang tak memberi ruang untuk gagal," jelasnya.

Di Shanghai, Xiaowen Tang, 23 tahun, menyewa stasiun kerja hanya untuk memenuhi tuntutan kampus yang mewajibkan bukti kerja pasca kelulusan.

Sambil duduk di ruang kantor, ia menulis novel daring untuk uang saku. 

“Jika harus berpura-pura, maka lakukan dengan total,” katanya.

Fenomena ini dianggap bukan hanya soal mencari pekerjaan, tapi juga tentang mempertahankan harga diri, tentang menciptakan ilusi produktivitas agar tidak terlihat gagal di mata masyarakat.

Angka Pengangguran di China Sempat Melonjak Tinggi

Selama beberapa tahun terakhir, Tiongkok menghadapi tantangan serius dalam menciptakan lapangan kerja bagi generasi mudanya. 

Ketika ekonomi melambat, sektor teknologi dan properti yang dulunya menjadi mesin utama pertumbuhan justru mengalami kontraksi. 

Akibatnya, jutaan lulusan baru memasuki pasar kerja tanpa jaminan pekerjaan yang jelas.

Krisis ini mencapai puncaknya pada Juni 2023, saat tingkat pengangguran kaum muda menyentuh rekor tertinggi 21,30 persen. 

Artinya, satu dari lima anak muda usia kerja di Tiongkok tidak memiliki pekerjaan tetap, angka tertinggi dalam sejarah modern negara itu. 

Kondisi ini diperburuk oleh gelombang kelulusan universitas yang tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja baru.

Namun, pada Juni 2024, Tiongkok mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. 

Pemerintah meluncurkan sejumlah kebijakan pemulihan ekonomi, termasuk investasi di sektor manufaktur dan pelatihan keterampilan digital. 

Hasilnya cukup menggembirakan: angka pengangguran turun tajam ke 13,20 persen, titik terendah dalam empat tahun terakhir.

Meski demikian, pemulihan ini belum sepenuhnya stabil. 

Pada Mei 2025, pengangguran anak muda kembali naik ke angka 14,90 persen, seiring dengan masuknya jutaan lulusan baru ke dalam pasar kerja. 

Namun, pada Juni 2025, tercatat ada sedikit perbaikan, dengan angka menurun ke 14,50 persen.

Menurut data Biro Statistik Nasional China, dikutip dari tradingeconomics.com, dalam rentang waktu lima tahun terakhir (2021–2025), rata-rata tingkat pengangguran kaum muda berada di angka 16,53 persen. 

Ini menandakan adanya tekanan struktural jangka panjang dalam sistem ekonomi dan pendidikan di Tiongkok.

Khususnya ketidaksesuaian antara jumlah lulusan yang tinggi dan lapangan kerja yang stagnan.

(Tribunnews.com/Farra)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved