Konflik Palestina Vs Israel
PBB Ikut Simak Langkah Netanyahu yang Akan Gelar Operasi Kuasai Seluruh Gaza
PBB memperingatkan Netanyahu bahwa langkah tersebut berisiko menimbulkan "konsekuensi bencana" sekaligus mengancam nyawa sandera di Gaza.
Penulis:
Bobby W
Editor:
Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengaku ikut khawatir dan menyimak langkah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang dikabarkan akan segera meluncurkan serangan besar-besaran untuk menguasai seluruh wilayah Gaza.
Hal ini disampaikan oleh Asisten Sekretaris Jenderal PBB, Miroslav Jenca dalam rapat Dewan Keamanan PBB, pada Selasa (5/8/2025) waktu setempat.
Jenca memperingatkan langkah tersebut berisiko menimbulkan "konsekuensi bencana" sekaligus mengancam nyawa sandera yang masih berada di Gaza.
"Hukum internasional dengan jelas menyatakan bahwa Gaza adalah dan harus tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari negara Palestina masa depan," tegas Jenca.
Pernyataan ini disampaikan Jenca guna merespons pertemuan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan sejumlah pejabat keamanan senior.
Melalui rapat tersebut, Netanyahu dikabarkan telah memfinalisasi strategi baru dalam konflik yang telah berlangsung hampir dua tahun.
Reuters melaporkan bahwa strategi baru Netanyahu adalah mengambil alih secara militer seluruh wilayah enclave Palestina tersebut sekaligus mengakhiri kebijakan penarikan pasukan Israel pada 2005.
Wakil Perwakilan Tiongkok di PBB, Geng Shuang, menyampaikan "keprihatinan mendalam" atas rencana tersebut dan mendesak Israel segera menghentikan aksi berbahaya ini.
Shuang juga menyerukan gencatan senjata serta upaya konkret negara-negara berpengaruh untuk mewujudkannya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar justru mengkritik langkah sejumlah negara yang belakangan ini mengumumkan untuk mengakui keberadaan Negara Palestina.
Saar menyebut langkah pengakuan "negara virtual Palestina " dapat menggagalkan kesepakatan pembebasan sandera dan memperpanjang perang.
Baca juga: Netanyahu Ngotot Kuasai Gaza, Ancam Pecat Pejabat Israel yang Menentang
Kecaman senada juga diungkapkan Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea.
Shea menyebut konferensi PBB yang juga dihadiri puluhan menteri pekan lalu untuk mendesak solusi dua negara antara Israel dan Palestina adalah "aksi pencitraan yang tidak produktif".
Ia menilai langkah pengakuan Palestina adalah hal yang menggagalkan upaya para mediator perdamaian selama ini.
Adapun tiga negara anggota Kelompok Tujuh (G7) yakni Prancis, Kanada, dan Inggris telah berencana mengakui kedaulatan Palestina pada September mendatang di Sidang Majelis Umum PBB.
Isi Rapat Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya dilaporkan telah bertemu dengan sejumlah pejabat keamanan senior untuk menetapkan strategi baru di Jalur Gaza, sebagaimana dikemukakan kantornya pada Selasa.
Media Israel melaporkan bahwa Netanyahu mendorong pengambilalihan militer penuh atas wilayah Palestina yang sudah diduduki.
Kantor Netanyahu dalam pernyataannya menyatakan bahwa perdana menteri telah mengadakan "diskusi keamanan terbatas" selama sekitar tiga jam.
Kepala Staf Militer Israel Eyal Zamir dilaporkan juga ikut hadir untuk menyampaikan opsi-opsi kelanjutan operasi di Gaza.
Sebelumnya, seorang pejabat Israel memberitahukan kepada Reuters bahwa Menteri Pertahanan Israel Katz dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, yang merupakan orang kepercayaan Netanyahu, juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Mereka ikut hadir untuk menentukan strategi yang akan dipresentasikan ke kabinet pemerintahan Israel (Knesset) minggu ini.
Baca juga: Donald Trump Ancam Tahan Dana Bencana Rp 31 Triliun bagi Negara Bagian yang Mendukung Boikot Israel
Media Israel juga melaporkan pada Selasa bahwa kabinet akan mengadakan sidang pada Kamis (7/8/2025)
Channel 12 Israel, mengutip seorang pejabat dari kantor Netanyahu, menyatakan bahwa perdana menteri cenderung mengambil kendali atas seluruh wilayah tersebut.
Langkah ini akan membatalkan keputusan tahun 2005 untuk menarik warga negara dan tentara Israel dari Gaza, sementara tetap mempertahankan kendali atas perbatasan, ruang udara, serta fasilitas umumnya.
Adapun keputusan pada tahun 2005 lalu tersebut kerap dijadikan alasan bagi partai-partai sayap kanan Israel terkait penyebab naiknya kekuasaan Hamas dalam pemilihan umum tahun 2006.
Namun demikian, belum jelas apakah Netanyahu memproyeksikan pendudukan jangka panjang atau operasi jangka pendek dalam operasi penguasaan seluruh wilayah Gaza tersebut.
Kantor perdana menteri Israel sendiri menolak memberikan komentar terkait laporan Channel 12.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menolak mengungkapkan apakah AS, sebagai sekutu militer terdekat Israel, mendukung rencana Netanyahu.
"Saya tahu bahwa kami saat ini sedang berupaya memastikan warga Gaza mendapatkan makanan," kata Trump kepada para jurnalis.
"Adapun hal lainnya, saya benar-benar tidak dapat berkomentar. Hal tersebut sepenuhnya terserah Israel." pungkas Trump.
Penghapusan Kesepakatan Tahun 2005
Langkah terbaru Netanyahu ini bisa dikatakan peninggalan Perdana Menteri, Ariel Sharon di tahun 2005.
Israel pada kala itu membuat keputusan yang mengguncang tatanan politik Timur Tengah: penarikan pasukan dan pemukim Yahudi secara sepihak dari Jalur Gaza.
Langkah ini bukanlah hasil kesepakatan damai dengan Palestina, melainkan kebijakan unilateral yang diambil tanpa konsultasi dengan Otoritas Palestina.
Keputusan yang diumumkan pada 14 Agustus 2005 itu menandai berakhirnya 38 tahun pendudukan Israel atas Gaza, sekaligus membuka babak baru yang justru memperdalam kompleksitas konflik.
Sharon, seorang tokoh sayap kanan yang dulu dikenal sebagai "Banteng dari Negev" sebelumnya dikenal sebagai arsitek ekspansi pemukiman Yahudi.
Namun demikian, secara tiba-tiba Sharon berbalik arah dari pendiriannya tersebut dengan alasan strategis.
Baca juga: 10 Klaim Israel yang Kental Kebohongan Sejak Dimulainya Perang Gaza pada 7 Oktober
"Gaza tidak bisa dipertahankan sebagai bagian dari Israel dalam jangka panjang," ujarnya dalam pidato bersejarah di Knesset (parlemen Israel) pada 2004.
Bagi Sharon, penarikan diri bukanlah pengakuan atas tuntutan Palestina, melainkan upaya mempertahankan karakter "negara Yahudi" dengan mengurangi jumlah warga Palestina di bawah kendali Israel.
Rencana ini kemudian disebut Unilateral Disengagement Planyang mengharuskan Israel menarik 8.000 pemukim Yahudi dari 21 pemukiman di Gaza dan empat pemukiman di Tepi Barat.
Selain itu, Israel juga menarik semua pasukan militer dari wilayah tersebut.
Namun, di balik narasi "pengakhiran pendudukan", Israel tetap mempertahankan kendali atas perbatasan, wilayah udara, jalur pantai, bahkan sistem utilitas seperti air, listrik, dan komunikasi di Gaza.
Proses penarikan diri berlangsung penuh gejolak.
Pada Agustus 2005, tentara Israel memaksa puluhan pemukim yang menolak pergi dengan mengunci diri di sinagog dan rumah-rumah mereka.
Di Gaza, penduduk Palestina menyambut penarikan pasukan dengan sukacita dengan merobohkan tembok pemisah yang dibuat Israel sembari menginjak-injak reruntuhan pemukiman yang ada.
Namun, kegembiraan itu cepat memudar ketika mereka menyadari bahwa "kemerdekaan" yang diimpikan ternyata tidak sepenuhnya terealisasi.
Israel sejatinya tetap menguasai gerbang perbatasan Rafah dan Erez dengan mengontrol aliran barang dan manusia, serta mempertahankan blokade udara dan laut yang membuat Gaza seperti "penjara terbuka".
Keputusan Sharon pada tahun 2005 ini juga disebut-sebut sebagai alasan kebangkitan Hamas.
Dengan kekuasaan Otoritas Palestina di Gaza yang lemah pasca-penarikan diri Israel, Hamas memanfaatkan kekosongan kekuasaan untuk memperkuat akar politik dan militer.
Mereka membangun jaringan sosial melalui klinik kesehatan, sekolah, dan program bantuan, sementara sayap militernya yakni Brigade al-Qassam memperkuat persenjataan melalui terowongan penyelundupan di perbatasan Mesir.
Puncaknya, dalam pemilihan umum Palestina 2006, Hamas memenangkan mayoritas kursi legislatif, mengalahkan partai Fatah yang dipimpin Mahmoud Abbas.
Kemenangan ini dianggap oleh banyak analis sebagai buah dari kegagalan Otoritas Palestina memenuhi kebutuhan rakyat pasca-2005 yang kemudian memicu konflik internal berdarah antara Hamas dan Fatah hingga akhirnya Hamas merebut kendali Gaza secara penuh pada 2007.
Bagi partai-partai sayap kanan Israel seperti Likud dan Jewish Home, keputusan Sharon dianggap sebagai "pengkhianatan" yang memicu bencana.
Mereka menyalahkan kebijakan 2005 sebagai penyebab naiknya kekuatan Hamas, dengan argumen bahwa penarikan diri tanpa jaminan keamanan justru memberi ruang bagi kelompok militan untuk berakar.
"Kami membangun tembok untuk melindungi diri dari teror, tetapi Sharon merobohkannya dan mengundang maut," ujar Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional era Netanyahu, dalam wawancara 2023.
Narasi ini kemudian menjadi fondasi bagi kebijakan Netanyahu di 2025 untuk "mengembalikan kendali penuh atas Gaza", sebagaimana terlihat dalam rencana operasi militer yang disebutkan dalam laporan Channel 12.
(Tribunnews.com/Bobby)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.