Kamis, 2 Oktober 2025

Kongres AS jadi Panggung Perwakilan Uighur dan Tibet Sampaikan Seruan Dukungan Aksi Nyata

Sebuah pertemuan yang berfokus pada Captive Nations, istilah yang digunakan Amerika Serikat (AS) untuk merujuk pada wilayah-wilayah tertindas

Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
UNJUK RASA - Sejumlah massa dari Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) menggelar aksi teatrikal saat unjuk rasa di depan Kedutaan Besar China, Kuningan, Jakarta, Jumat (3/2/2023). Sebuah pertemuan yang berfokus pada Captive Nations, istilah yang digunakan Amerika Serikat (AS) untuk merujuk pada wilayah-wilayah tertindas. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah pertemuan yang berfokus pada Captive Nations, istilah yang digunakan Amerika Serikat (AS) untuk merujuk pada wilayah-wilayah tertindas, digelar di Rayburn House Office Building di Kongres AS pada 21 Juli 2025 lalu. 

Pertemuan ini berlangsung untuk memperingati pekan Captive Nations 2025, yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Publik 86-90, atau yang dikenal dengan Resolusi Captive Nations. 

Dikutip dari Tribune India, Kamis (24/7/2025), acara tersebut mempertemukan perwakilan dari Turkistan Timur, Tibet, Mongolia Selatan, pejabat keamanan nasional AS, dan staf Kongres untuk membahas pendudukan, penindasan, serta penghapusan berkelanjutan yang dialami oleh negara dan wilayah-wilayah tersebut.

Sebagaimana dinyatakan dalam rilis Pemerintah Turkistan Timur dalam Pengasingan (ETGE), Resolusi Negara-Negara Tawanan (Hukum Publik 86-90) mengakui negara-negara yang telah ditindas oleh imperialisme komunis dan menyerukan bantuan AS untuk memulihkan kebebasan dan kedaulatan mereka. 

Resolusi ini secara khusus merujuk pada negara dan wilayah tertindas, seperti Turkistan dan Tibet, yang memperjuangkan pembebasan mereka serta hak untuk menentukan nasib sendiri.

Etnis Uighur

Salih Hudayar, Menteri Luar Negeri dan Keamanan untuk Pemerintahan Turkistan Timur di Pengasingan, menyampaikan pidato utama dalam acara tersebut.

"Turkistan Timur diidentifikasi dalam Resolusi Negara-Negara Tawanan tahun 1959,” ucap dia.

"Hukum tersebut masih berlaku. Dan tragisnya, begitu pula penahanan kami," menurut postingan ETGE.

Hudayar menjelaskan ada lebih dari satu juta anak telah dipisahkan dari keluarga mereka. 

Ia mengecam kolaborasi Turkistan Timur dengan intelijen Tiongkok untuk membungkam kemerdekaan Turkistan Timur.

Lebih lanjut Hudayar mendesak Kongres AS untuk mengakui Turkistan Timur sebagai negara yang diduduki, mengadakan dengar pendapat mengenai perjuangan Turkistan Timur untuk kemerdekaan, dan menyelidiki serta menghentikan infiltrasi serta penindasan transnasional dalam diaspora Turkistan Timur/Uighur.

"Memulihkan kebebasan dan kemerdekaan bagi Turkistan Timur bukan sekadar mimpi. Ini adalah tanggung jawab yang ditetapkan dalam Resolusi Negara-Negara Tertindas," ujarnya.

Sementara itu, Tenzin Wangdu, perwakilan komunitas Tibet-Amerika dan gerakan (kemerdekaan) Tibet Rangzen, menyoroti identitas unik Tibet.

“Tibet tidak pernah diakui secara hukum sebagai bagian dari Tiongkok. Kami memiliki pemerintahan, budaya, dan identitas kami sendiri selama lebih dari seribu tahun," kata dia, sebagaimana dicatat dalam laporan ETGE.

"Waktu untuk retorika kosong telah berlalu. Kita membutuhkan tindakan nyata,” kata Wangdu.

Dirinya menekankan bahwa hanya kemerdekaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat Tibet.

Pemerintahan Turkistan Timur di Pengasingan, atau East Turkistan Government in Exile (ETGE), adalah entitas politik yang mewakili komunitas diaspora dari wilayah Xinjiang (yang oleh mereka disebut Turkistan Timur).

ETGE berdiri tahun 2004, dan berkedudukan di Washington, D.C., Amerika Serikat.

Dipimpin oleh Perdana Menteri Salih Hudayar dan Presiden Ghulam Yaghma

Untuk diketahui, Tibet terletak Asia bagian tengah, tepatnya di dataran tinggi Himalaya.

Hubungan antara Tibet dan Tiongkok sangat kompleks dan telah berlangsung selama lebih dari 1.500 tahun, melibatkan aspek sejarah, politik, budaya, dan spiritual. 

Hubungan Tibet dan Tiongkok adalah perpaduan antara pengaruh sejarah, konflik politik, dan perbedaan pandangan ideologis.

Tibet memiliki identitas budaya dan spiritual yang kuat, sementara Tiongkok menekankan integrasi wilayah sebagai bagian dari kedaulatan nasional.

Ketegangan ini masih berlangsung hingga kini, terutama terkait hak otonomi hingga pengaruh internasional.

SUMBER

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved