Mengapa Pernikahan Dini Marak Terjadi di Wilayah Pesisir?
Anak dan remaja perempuan di wilayah pesisir rentan dinikahkan dini guna ringankan beban ekonomi keluarga. Bagaimana memutus rantai…
Di luar Pulau Jawa, Susan menilai pernikahan anak juga marak terjadi, khususnya di daerah terpencil yang terdampak proyek ekstraktif.
"Di Sulawesi yang lautnya dirusak industri dan tambang, banyak anak yang juga menikah di usia muda. Tren pernikahan dini ini merupakan dampak berganda dari krisis iklim dan proyek ekstraktif, dimana warganya semakin sulit mencari pendapatan," jelasnya.
Selain kerusakan lingkungan, krisis iklim dan cuaca yang tak menentu juga berdampak pada ritme kehidupan nelayan. Kini, angin tak lagi bisa diprediksi, sehingga pendapatan mereka pun semakin tidak menentu.
Kekerasan berbasis gender marak di pesisir
Menurut lembaga nonprofit Rumah Kita Bersama (KitaB) yang meneliti isu pernikahan dini, pernikahan anak yang marak terjadi di pesisir turut dibarengi dengan kekerasan berbasis gender.
"Turunnya pendapatan karena krisis iklim membuat nelayan lebih sensitif dan emosional, sehingga mendorong banyak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan, kata-kata kasar, dan lain-lain. KDRT banyak terjadi di pesisir, tapi memang tidak banyak yang menceritakan, karena ini sudah dianggap fenomena yang biasa," ujar Achmat Hilmi, Direktur Kajian dan Advokasi Rumah KitaB.
Tingginya tingkat kekerasan ini membuat masyarakat pesisir memilih jalan menikah siri. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya kasus pernikahan anak yang tidak tercatat dengan baik oleh negara.
"Karena tingginya KDRT, lebih relevan untuk kawin siri dulu saja. Kalau baik, lanjut, isbat. Kalau enggak, ya, cerai. Lagi-lagi, dari nikah siri ini anak yang nantinya dikorbankan," jelas Hilmi.
Meski belum ada data yang komprehensif terkait kekerasan terhadap perempuan di wilayah pesisir Indonesia, salah satu data di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, mencatat selama tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menjerat 46 korban.
Merujuk Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, kasus kekerasan tersebut meliputi pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga kekerasan fisik dan kekerasan lainnya.
Hal serupa juga diungkap oleh Yayasan Humanis melalui risetnya yang dirilis pada Januari 2025. Laporan yang berjudul Hak dan Ketahanan Perempuan Nelayan di Tengah Perubahan Regulasi dan Iklim menyebutkan risiko kekerasan terhadap perempuan kian meningkat di wilayah pesisir Demak, Jawa Tengah. Desa yang terisolasi akibat banjir rob memicu beratnya tekanan psikologis serta keterbatasan akses bagi masyarakat, hingga akhirnya berujung pada kekerasan.
Lebih lanjut, perempuan pesisir juga menanggung beban yang berlipat ganda, jelas pakar. Karena pendapatan nelayan tak menentu, perempuan pesisir harus memastikan keluarganya tetap bisa makan. Mereka harus memutar otak untuk mencari uang, mulai dari bekerja serabutan, menjadi pedagang kecil, hingga mencari utang. Ketika mereka terlilit utang, bukan tidak mungkin orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya.
"Banyak perempuan di pesisir tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari kekerasan ekonomi. Kami banyak menemukan fenomena di mana banyak perempuan ditinggalkan oleh suaminya untuk mencari pekerjaan, tapi tidak kembali lagi. Yang sering membuat sedih, banyak perempuan tidak sadar telah menjadi korban kekerasan, dan menganggapnya sebagai bentuk kepatuhan seorang istri kepada suami," ungkap Susan.
Memutus rantai pernikahan dini dan kekerasan berbasis gender
Kekerasan berbasis gender di wilayah pesisir adalah masalah yang amat kompleks. Menurut Susan, yang pertama harus dibenahi adalah isu lingkungan yang berdampak langsung pada ekonomi masyarakat.
"Pertama, negara harus memikirkan cara untuk menghentikan proyek ekstraktif dan eksploitatif. Kalau laut dirusak, pengelolaan limbah masih buruk, otomatis kasus kekerasan akan semakin meningkat, karena ekonomi mereka terus terdampak," jelas Susan.
Tak hanya itu, menurutnya, nelayan perlu diposisikan sebagai jantung dari pembangunan yang diuntungkan dari proyek-proyek nasional. Perlindungan sosial dan kesehatan bagi nelayan pun harus diterapkan, khususnya dalam bentuk asuransi gratis. Pelatihan ekonomi alternatif bagi perempuan pesisir juga harus segera disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, ujarnya.
Sumber: Deutsche Welle
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.