Jepang Akan Gratiskan Biaya Melahirkan, Sebelumnya Hanya Ada Tunjangan Rp57 Juta
Jepang akan menanggung penuh biaya persalinan normal mulai April 2026, demi mengatasi penurunan angka kelahiran.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Jepang berencana menggratiskan biaya persalinan normal mulai April 2026 sebagai langkah untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di negara tersebut.
Mengutip Kyodo News, salah satu pendekatan utama dalam kebijakan yang disetujui pada hari Rabu (14/5/2025) oleh panel ahli adalah menjadikan biaya persalinan normal sepenuhnya ditanggung oleh sistem asuransi kesehatan publik.
Saat ini, persalinan normal tidak termasuk dalam cakupan asuransi karena tidak dianggap sebagai kondisi medis seperti penyakit atau cedera.
Sebagai pengecualian, operasi caesar tetap ditanggung oleh asuransi.
Sementara itu, epidural—prosedur untuk mengurangi nyeri saat persalinan—diperkirakan masih berada di luar cakupan dalam kebijakan baru yang diusulkan.
Karena institusi medis dapat menetapkan harga mereka sendiri untuk persalinan normal, biaya melahirkan di Jepang bisa sangat berbeda antar prefektur.
Jika rencana ini diberlakukan, biaya persalinan normal akan sepenuhnya ditanggung oleh asuransi kesehatan publik, dengan tarif nasional yang ditetapkan secara seragam.

Subsidi Sebelumnya Dinilai Tidak Cukup
Saat ini, pemerintah Jepang memberikan subsidi persalinan sebesar 500.000 yen (sekitar Rp 57 juta) per kelahiran.
Namun, lonjakan biaya persalinan membuat dana ini sering kali tidak mencukupi.
Meski begitu, sejumlah dokter kandungan dan pengelola rumah sakit mengungkapkan kekhawatiran bahwa pemberlakuan tarif standar nasional berpotensi mengurangi pendapatan rumah sakit swasta.
Hal ini dikhawatirkan akan memberikan tekanan finansial, terutama pada fasilitas kesehatan yang selama ini bergantung pada biaya layanan persalinan.
Baca juga: 5 Negara Eropa Jadi Destinasi Study Tour Al Azhar Karanganyar, Sebelumnya ke Turki hingga Jepang
Angka Kelahiran Jepang Terus Menurun
Dilansir The Straits Times, menurut data Kementerian Kesehatan Jepang per Februari 2025, jumlah kelahiran pada tahun 2024 turun menjadi hanya 720.988 bayi, angka terendah selama 9 tahun berturut-turut.
Fenomena ini menjadi cerminan dari krisis demografi yang dihadapi Jepang, yaitu populasi yang menua dan jumlah penduduk yang menyusut.
Salah satu faktor utama di balik penurunan kelahiran adalah turunnya angka pernikahan, yang sempat merosot tajam sebesar 12,7 persen pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, menurut Takumi Fujinami, ekonom di Japan Research Institute.
Meski angka pernikahan naik sedikit sebesar 2,2 persen pada 2024 (menjadi 499.999 pasangan), dampak penurunan sebelumnya masih terasa.
“Dampaknya bisa terus berlanjut hingga tahun 2025,” ujar Fujinami.
Berbeda dengan banyak negara Barat, mayoritas besar bayi di Jepang lahir dalam ikatan pernikahan, sehingga tren menurunnya angka pernikahan berdampak langsung terhadap angka kelahiran nasional.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.