Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Trump Mendadak Ingin Berdamai dengan Tiongkok
Trump menyebut bahwa tekanan tarif tinggi akhirnya membuat Beijing mau duduk bersama mencari kesepakatan.
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengklaim bahwa Tiongkok kini bersedia untuk bernegosiasi setelah Washington memberlakukan tarif impor hingga 145 persen terhadap produk-produk dari negara tersebut.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut bahwa tekanan tarif tinggi akhirnya membuat Beijing mau duduk bersama mencari kesepakatan.
“Pada akhirnya mereka akan membuat kesepakatan dengan kita,” kata Trump, seperti dikutip CNBC.
Ia menyebut hubungan pribadinya dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, tetap baik dan menjadi dasar keyakinannya bahwa kesepakatan dagang akan tercapai.
“Saya selalu berhubungan baik dengan Presiden Xi. Kami memiliki hubungan sangat baik. Saya pikir sesuatu yang positif akan datang,” ujarnya.
Meski beberapa produk teknologi seperti iPhone dan chip mendapat penangguhan tarif, dampak kebijakan ini meluas ke hampir seluruh sektor ekonomi AS.
Perusahaan di berbagai bidang—dari mainan hingga pakaian dan furnitur—melaporkan pembatalan massal pesanan dari Tiongkok.
“Produsen furnitur di Tiongkok mengalami penghentian total pesanan dari importir AS. Hal yang sama terjadi pada mainan, pakaian, alas kaki, dan peralatan olahraga,” ujar Alan Murphy, CEO Sea-Intelligence kepada CNBC.
Sementara itu, Brian Bourke dari SEKO Logistics menambahkan bahwa pemesanan dari Asia Tenggara mulai kembali, tapi dari Tiongkok masih lumpuh total.
Ekonom Erica York dari Tax Foundation menyebut bahwa tarif setinggi 145 persen “akan menghentikan sebagian besar perdagangan antara AS dan Tiongkok.”
Menurutnya, barang-barang yang tidak memiliki pengganti saja yang kemungkinan akan terus diimpor meski biayanya sangat tinggi.
Baca juga: Mobil Klasik Bebas dari Tarif Impor 25 Persen yang Diterapkan Trump
Barang elektronik dan peralatan medis termasuk yang dikecualikan dari tarif karena sulit untuk diproduksi ulang di negara lain.
Langkah ini tidak cukup untuk meredam guncangan dalam rantai pasokan global.
Murphy menambahkan bahwa produsen kini mulai memindahkan produksi ke Asia Tenggara atau menurunkan harga ke pasar Eropa untuk bertahan.
“Menyiapkan manufaktur teknis butuh waktu dan biaya besar,” ujarnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.