Selasa, 30 September 2025

Uni Eropa Sorot Komitmen Pakistan atas Skema Perdagangan GSP+

Pakistan telah menghabiskan satu dekade terakhir dengan memanfaatkan Generalised Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa. 

Editor: Wahyu Aji
Tangkap layar X
PERDAGANGAN ISTIMEWA - ILUSTRASI Bendera Pakistan. Generalised Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa, sudah berjalan selama satu dekade. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakistan telah menghabiskan satu dekade terakhir dengan memanfaatkan Generalised Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa

Skema itu memberikan akses perdagangan istimewa dari Pakistan ke pasar UE. 

Dikutip dari Independent Online, Selasa (11/3/2025), ada sorotan terkait pemanfaatan skema itu. 

Sebab, dalam penilaian dua tahunan baru-baru ini, ada fakta yang mengganggu: Pakistan telah gagal memenuhi persyaratan dasar skema tersebut. 

Alih-alih menggunakan manfaat perdagangan istimewa untuk memajukan hak asasi manusia, hak buruh, perlindungan lingkungan, dan tata pemerintahan yang baik, Pakistan secara sistematis mengabaikan kewajibannya.

Apa yang dulunya merupakan peluang ekonomi utama telah menjadi contoh kegagalan negara dan ketidakpatuhan terhadap standar internasional.

Sejak 2014, Pakistan telah menikmati status GSP+, yang telah secara signifikan meningkatkan ekspornya ke Uni Eropa. Namun, terlepas dari keuntungan ekonomi ini, pemerintah Pakistan telah berulang kali mengabaikan untuk menegakkan 27 konvensi internasional yang menjadi tulang punggung pengaturan tersebut.

Konvensi-konvensi ini mencakup berbagai isu, mulai dari hak sipil dan politik hingga perlindungan buruh dan keberlanjutan lingkungan. Parahnya, kritik Uni Eropa ditanggapi respons Pakistan yang mengalihkan perhatian, ketimbang mengatasi akar penyebab kegagalannya dalam melaksanakan reformasi yang berarti.

Masalah penerapan kewajiban GSP+

Salah satu masalah yang paling mencolok adalah kegagalan Pakistan mengadopsi mekanisme yang efektif. Khususnya, guna memantau dan menegakkan kepatuhan GSP+. 

The Treaty Implementation Cells (TICs), yang dimaksudkan untuk mengawasi kepatuhan di tingkat provinsi, kekurangan dana atau bahkan tidak disediakan di banyak wilayah. Kurangnya kapasitas kelembagaan dan kemauan politik ini dapat diartikan, bahwa kewajiban negara berdasarkan GSP+ secara rutin diabaikan.

Contoh ketidakpatuhan negara yang sangat meresahkan adalah perlakuan Pakistan terhadap minoritas agamanya. Meskipun berjanji untuk memerangi diskriminasi, negara terus gagal dalam tugasnya untuk melindungi minoritas dari kekerasan, pemaksaan pindah agama, dan praktik diskriminatif. 

Penolakan negara untuk meloloskan undang-undang yang menentang pemaksaan pindah agama, yang sering kali melibatkan anak di bawah umur, semakin menyoroti kelambanannya. Undang-undang penistaan ​​agama, yang sering digunakan untuk menargetkan minoritas agama, terus menjadi alat penyalahgunaan yang disetujui negara, dengan ribuan kasus diajukan setiap tahun terhadap komunitas agama non-Muslim.

Kebebasan pers diberangus

Selain itu, catatan kebebasan pers Pakistan menggambarkan gambaran suram tentang penindasan negara. Berada di peringkat ke-150 dari 180 negara untuk kebebasan pers, pemerintah sering menggunakan badan regulasi untuk menekan media yang kritis terhadap kebijakannya.

Pemutusan komunikasi pada Mei 2023, yang memengaruhi 125 juta orang, melanggar norma internasional tentang kebebasan berekspresi dan semakin merusak komitmen Pakistan terhadap kewajiban GSP+.

Yang sama meresahkannya adalah kasus penghilangan paksa yang sedang berlangsung, yang telah menjadi ciri khas pelanggaran hak asasi manusia Pakistan. Antara tahun 2011 dan 2023, hampir 10.000 kasus dilaporkan, namun para pelakunya sebagian besar masih belum bertanggung jawab, dan negara telah gagal memberlakukan undang-undang federal untuk mencegah pelanggaran tersebut. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved