Konflik Rusia Vs Ukraina
Menteri Polandia: Putin Ulangi Kesalahan Era Soviet yang Hancurkan Ekonomi Rusia
Putin mengulangi kesalahan era Soviet, yang menghancurkan ekonomi Rusia, kata menteri luar negeri Polandia.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin disebut melakukan kesalahan yang sama seperti di era Uni Soviet terkait invasinya di Ukraina, menurut Menteri Luar Negeri Polandia.
Dilansir Business Insider, berbicara di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Kamis (23/1/2025), Radoslaw Sikorski mengatakan bahwa Uni Soviet pernah melawan Barat dan kalah, dan kini Putin mengulangi kesalahan yang sama.
Sikorski menjelaskan bahwa Putin pernah secara terbuka menyatakan bahwa di bawah pemerintahan Leonid Brezhnev, Uni Soviet menghabiskan terlalu banyak anggaran untuk militer sehingga membuat negara itu bangkrut.
"Putin dulu sangat bersikeras bahwa kesalahan ini tidak boleh terulang. Namun, ia justru mengulangi kesalahan tersebut," ujar Sikorski.
Leonid Brezhnev, yang memimpin Uni Soviet dari tahun 1960-an hingga kematiannya pada tahun 1982, dianggap gagal mereformasi Uni Soviet dan menyebabkan periode stagnasi.
Ketegangan global meningkat akibat invasi Soviet ke Afghanistan pada tahun 1979.
Putin, di masa lalu, menyesalkan keadaan ekonomi Uni Soviet.
Pada Februari 2024, Putin berjanji untuk menghindari situasi ekonomi serupa dan menuduh Barat berusaha menyeret Rusia ke dalam perlombaan senjata.

Ia menambahkan bahwa taktik yang digunakan oleh Barat "berhasil" melawan Uni Soviet, di mana antara tahun 1981 hingga 1988, pengeluaran militer Uni Soviet mencapai 13 persen dari PDB.
Pada 2025, Rusia berencana membelanjakan 6,3 persen dari PDB-nya untuk pertahanan nasional, tingkat tertinggi sejak Perang Dingin.
Selain itu, belanja pertahanan akan mencapai 32,5?ri anggaran federal, naik dari 28,3 persen pada 2024.
Baca juga: Trump Ancam Putin, Desak Segera Akhiri Perang Konyol di Ukraina
Sikorski juga mengatakan bahwa di bawah Putin, Rusia telah mengisolasi dirinya dari seluruh Eropa.
Negara-negara yang dulunya bersahabat atau netral kini menjadi musuh, mencerminkan situasi di era Soviet.
Sebagai contoh, Sikorski menyebut negara-negara Nordik, termasuk Swedia dan Finlandia, yang bergabung dengan NATO sebagai dampak dari invasi Rusia ke Ukraina.
Invasi Rusia telah dikecam oleh negara-negara Barat dan menyebabkan sanksi berat yang dijatuhkan kepada Rusia.
Perusahaan-perusahaan Barat pun menarik diri dari negara tersebut.
Sejak melancarkan invasi skala penuh pada Februari 2022, Rusia telah merestrukturisasi ekonominya untuk memprioritaskan upaya perangnya dan mengalokasikan banyak dana untuk militer.
Inflasi di Rusia meningkat, sementara tenaga kerja menyusut, dan nilai rubel menurun.
Anders Åslund, seorang ekonom Swedia dan mantan rekan di Atlantic Council, mengatakan bahwa cadangan keuangan Rusia bisa habis sebelum akhir tahun.
Ekonomi Uni Soviet runtuh pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, dan akhirnya bubar pada tahun 1991.
Pernyataan Sikorski sejalan dengan peringatan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional pada Februari 2024, yang menyebut bahwa kondisi ekonomi Rusia hampir serupa dengan Uni Soviet dulu.
Alexander Kolyandr, analis keuangan dan peneliti senior nonresiden di Pusat Analisis Kebijakan Eropa, mengatakan pada Desember bahwa tren ekonomi Rusia cukup suram.
"Saya berpendapat bahwa stagnasi yang dialami Rusia saat ini mirip dengan yang terjadi di Uni Soviet pada awal 1980-an," katanya.
Namun, beberapa ekonom lain berpendapat bahwa Rusia tidak menuju keruntuhan seperti Soviet.
Beberapa sektor ekonominya justru menunjukkan tanda-tanda positif.
Baca juga: Putin dan Xi Jinping Gelar Diskusi Empat Mata Bahas Donald Trump
Ekonom Vladislav Inozemtsev mengatakan ekonomi perang Rusia tidak dalam bahaya kehancuran yang akan segera terjadi.
Ia mengatakan Rusia telah beradaptasi dengan perang dan tampak lebih stabil daripada beberapa tahun lalu.
"Perang, yang secara formal merupakan 'darurat,' telah dipikirkan kembali sebagai 'kenormalan baru,'" katanya.
Baca juga: Reaksi Pemimpin Dunia atas Pelantikan Donald Trump: Netanyahu, Putin, Zelensky, dan Paus Fransiskus
Donald Trump Ultimatum Putin
Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump memperingatkan bahwa ia akan mengenakan tarif tinggi dan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia jika Vladimir Putin gagal mengakhiri perang di Ukraina.
Menulis di platform media sosialnya Truth Social, Trump mengatakan bahwa dengan mendorong penyelesaian perang, ia telah memberikan bantuan yang sangat besar kepada Rusia dan presidennya.
"Saya akan membantu Rusia, yang ekonominya sedang gagal, dan Presiden Putin, dengan KEBAIKAN yang sangat besar," tulis Trump.
"Selesaikan sekarang, dan HENTIKAN Perang konyol ini! INI HANYA AKAN MENJADI LEBIH BURUK. Jika kita tidak membuat 'kesepakatan', dan segera, saya tidak punya pilihan lain selain mengenakan Pajak, Tarif, dan Sanksi tingkat tinggi pada apa pun yang dijual oleh Rusia ke Amerika Serikat, dan berbagai negara peserta lainnya."
"Mari kita akhiri perang ini, yang tidak akan pernah dimulai jika saya menjadi Presiden! Kita dapat melakukannya dengan cara yang mudah, atau cara yang sulit - dan cara yang mudah selalu lebih baik. Saatnya untuk 'MEMBUAT KESEPAKATAN'."
Menanggapi ancaman sanksi itu, Kremlin mengatakan bahwa pihaknya tetap siap untuk dialog, mengutip BBC.
"Kami menunggu sinyal yang belum datang," kata juru bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov.
Ia menambahkan bahwa Rusia tidak melihat hal baru dalam ancaman Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi.
"Ia menyukai metode ini, setidaknya ia menyukainya selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.