Kasus 107 guru honorer di Jakarta dipecat karena dianggap 'tak sesuai aturan'
Sebanyak 107 guru honorer di Jakarta diberhentikan tiba-tiba pada awal tahun ajaran baru lalu menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru…
Syarat itu yakni; berstatus bukan ASN, tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dan belum mendapat tunjangan profesi guru.
Namun guru-guru yang "ditata" itu tidak memenuhi dua syarat, yakni tidak terdata di dalam Dapodik dan tidak memiliki NUPTK.
Lalu bagaimana dengan nasib guru-guru yang diberhentikan ini?
Budi mengatakan bahwa mereka dapat mengikuti seleksi PPPK sehingga bisa diangkat menjadi ASN.
"Nanti kan ada seleksi PPPK di tahun ini. Dan kemarin dari Kemendikbud juga menyatakan bahwa kebutuhan kita kan hampir 1.900-an ya untuk PPPK, untuk guru. Mereka bisa mendaftar ke sana," ujar Budi.
Direkrut karena kekurangan guru, sulit menjadi ASN
Jalan bagi guru-guru honorer untuk diangkat menjadi ASN melalui seleksi PPPK tidak sesederhana itu. Sementara itu, ada kebutuhan dari sekolah-sekolah yang kekurangan guru dan perlu diisi secara cepat.
Inilah yang terjadi pada Fani, yang bercita-cita menjadi guru sejak masih SMP dan memulai kariernya pada 2021.
Tidak lama setelah lulus kuliah pendidikan, Fani dihubungi oleh kepala sekolah yang membutuhkan guru PPKn.
Karena masih menganggur dan merasa bahwa jalannya adalah untuk mengajar, Fani menerima tawaran itu.
Dia diupah sebesar Rp1,35 juta rupiah per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan karena bersumber dari dana BOS. Baru pada 2022, upahnya meningkat menjadi Rp4,2 juta per bulan.
Pada Agustus 2023, posisi Fani sebagai guru honorer tergeser oleh guru yang telah lolos seleksi PPPK dan ditempatkan di sekolah itu.
"Mau tidak mau saya tergeser. Saya disarankan untuk cari lowongan ke sekolah swasta, jadi saya berhenti dan mau pindah ke swasta," kata dia.
Tetapi pada momen itu pula, dia mendapat panggilan dari sekolah negeri lainnya di Jakarta Timur.
Sekolah itu kekurangan guru PPKn. Ada 18 kelas, tapi mereka hanya memiliki satu guru untuk mata pelajaran itu.
"Bayangkan satu guru itu harus mengajar 18 kelas, dan satu kelas itu tiga jam pelajaran. Apa memungkinkan? Akhirnya kepala sekolah merekrut saya," kata dia.
Namun, status Fani di Data Pokok Pendidikan ternyata masih terdaftar di sekolah yang lama. Sekolah tidak berani melanjutkan perekrutan Feni karena perkara administrasi itu.
Imbasnya, kelas PPKn yang diajarkan oleh Fani digantikan oleh guru yang biasa mengajar mata pelajaran lain.
Ketika dia bisa kembali mengajar, pemecatan tiba-tiba ini justru terjadi.
Dengan status kerja yang tidak jelas dan begitu rentan, Fani, seperti guru-guru honorer lainnya, punya mimpi untuk bisa diangkat menjadi ASN.
Dia pun sudah mengupayakan itu, tapi belum ada hasilnya.
“Sejak saya aktif mengajar tahun 2021, perekrutan PPPK pertama saya ingin mendaftar, tapi saya tidak masuk data pokok pendidikan, akhirnya saya tidak bisa mendaftar. Tahun 2022, saya sudah punya dapodik, tapi PPPK tidak dibuka. Tahun kemarin, untuk guru PPKn se-Jakarta kuotanya hanya satu orang,” kata dia.
“Saya langsung pesimistis. Kapan saya bisa punya kesempatan? Belum ada gerbangnya,” ujar Fani.
Apa yang terjadi saat ini membuat Fani harus menunda mimpinya itu.
“Terkadang saya berpikir, guru itu katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi tidak ada tanda jasanya itu apa dilecehkan sampai seperti ini?”
P2G mendesak agar Dinas Pendidikan untuk mengembalikan para guru honorer ke sekolah-sekolah mereka, juga memulihkan status mereka sebagai tenaga pengajar.
“Kalau guru honorer dikeluarkan, banyak kelas akan kosong,” kata Iman.
P2G: ‘Tata kelola guru masih amburadul’
Iman mengatakan bahwa kasus di Jakarta menunjukkan bahwa tata kelola guru di Indonesia masih amburadul.
P2G bahkan menduga kasus ini hanya “puncak gunung es” dari fenomena penyingkiran guru-guru honorer di Indonesia.
Dia mengeklaim telah ada 466 pengaduan yang masuk ke P2G soal bagaimana guru-guru honorer di Jawa Barat tergeser oleh guru yang lolos seleksi PPPK. Padahal, pemerintah sebelumnya menjamin bahwa kehadiran guru PPPK tidak akan menggeser guru honorer.
“Dari sisi guru PPPK, itu tidak salah dong karena dia hanya mengisi formasi berdasarkan penempatan. Tapi dari sisi guru honorer, dia sedang mengajar tiba-tiba jamnya berkurang drastis,” jelas Iman.
Jam mengajar yang berkurang, kata Iman, secara tidak langsung adalah bentuk penyingkiran terhadap guru honorer.
“Guru honorer itu nyawanya ada di jam, kalau enggak ada jamnya, itu sama saja seperti di-PHK,” tutur dia.
Sementara di Lampung, P2G menemukan laporan di mana guru-guru honorer tidak bisa mengikuti seleksi PPPK karena tidak ada kuota yang tersedia.
Berangkat dari temuan-temuan itu, P2G dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta membuka posko pengaduan bagi guru honorer yang terdampak kebijakan “cleansing”.
Kepala Advokat LBH Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan, mengatakan ada potensi praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) semacam ini menjadi massal. Terutama menjelang batas waktu penataan pegawai honorer dan non-ASN pada Desember 2024.
"Untuk memastikan dan membuat ini lebih sistematis maka menurut kami penting untuk membuat kanal pengaduan yang nantinya bisa memfasilitasi kawan-kawan guru honorer," kata Fadhil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.