'Saat diperpanjang hingga 2041, pemilik ulayat tak dilibatkan, sekarang ditambah lagi hingga 2061' - Pemerintah Indonesia dinilai terburu-buru memperpanjang kontrak Freeport
Keputusan Indonesia memperpanjang izin usaha pertambangan khusus PT Freeport hingga 2061 dikritik sejumlah kalangan. Seorang pakar…
Sebagai generasi muda keluarga Naktime, Nelson tidak mewakili keluarga besarnya dalam hubungan dengan Freeport maupun pemerintah. Namun dia mengikuti dinamika perusahaan yang diklaim Presiden Joko Widodo telah menjadi milik pemerintah Indonesia itu.
"Kalau Freeport ingin memperpanjang kontrak, mereka harus berkomunikasi dengan pemilik hak ulayat," ujar Nelson.
"Saat kontrak mereka diperpanjang hingga 2041, tidak ada pembicaraan dengan keluarga saya. Sekarang kontrak itu sudah ditambah lagi," ujarnya.
Pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pertambangan Freeport merupakan persoalan menahun yang muncul terus-menerus. Agustus 2022 misalnya, keluarga besar Naktime mengajukan protes karena proses penyusunan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) Freeport tidak melibatkan mereka sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak.
Protes serupa juga terus bermunculan, salah satunya dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme pada akhir Januari 2024. Merujuk riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), aktivitas Freeport memiliki dampak meluas, bukan hanya menyasar pemilik ulayat, tapi sekitar 6.484 jiwa.
"Saya tidak bisa komentar tentang aktivitas Freeport karena tidak pernah ada keterbukaan dengan masyarakat, sejauh mana mereka akan eksplorasi dan segala macamnya," kata Nelson.
"Seharusnya seluruh proses di Freeport dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat bisa menilai, apakah mereka akan setuju atau tidak," tuturnya.
Masyarakat adat tidak dilibatkan
Aktivis lingkungan hidup dan tokoh adat suku Kamoro Timika, Rony Nakiaya mengaku masyarakat adat pemilik hak ulayat di wilayah konsensi PTFI tidak dilibatkan dalam perpanjangan kontrak hingga 2061 itu.
“Sehingga bisa dikatakan ini sepihak, banyak masalah yang masih belum selesai, sementara pemerintah mengambil kebijakan bersama perusahaan [sepihak],” kata Rony.
Pada tahun 2018, Indonesia telah menguasai 51% saham PTFI. Namun, ujar Rony, hingga sekarang tidak ada manfaat yang dirasakan masyarakat adat yang terimbas dari aktivitas PTFI.
Dia pun pesimis penguasaan saham kali ini yang mencapai 61% akan memberikan dampak.
“Ini kira-kira dampaknya untuk masyarakat adat ini apa? Sementara dari sisi lingkungan sampai sekarang Freeport masih belum membenahi masalah lingkungan yang Freeport buat sendiri. Limbah tailing menumpuk di pantai, membuat akses transportasi masyarakat adat itu tersendat,” kata Rony.
Di sisi lain, menurutnya, penggusuran masyarakat adat di area konsensi tambang masih terus terjadi. “Yang saya lihat ini menjadi proyek bagi segelintir orang di dalam untuk menghabiskan program atau dana,” katanya.
Senada, tokoh agama Katolik di Keuskupan Timika, Saulo Paulo Wanimbo juga mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari perpanjangan kontrak dan penambahan saham Indonesia di PTFI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.