Mengapa Tapera disebut 'tidak masuk akal' menyediakan hunian rakyat yang terjangkau?
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menilai program Tapera "tidak masuk akal" untuk menyediakan…
Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran.
Kalaupun ada, kata Jehansyah, lokasi rumahnya "tidak terjangkau" alias jauh dari kota.
"Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah," ucap Jehansyah kepada BBC News Indonesia.
"Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter."
"Di Ciseeng [Bogor] saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau."
Kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru.
Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.
Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.
Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.
"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance."
"Contoh di Soreang [Bandung], ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek [hunian] pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah."
"Selain itu harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan."
Ketiga, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta – jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.
Namun, kata Jehansyah, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.