Jepang Peringati 70 Tahun Uji Coba Nuklir AS di Pasifik
Ayahnya Shimomoto merupakan korban terdampak dari uji coba nuklir AS di Bikini Atoll. Sang Ayah tengah melaut sebagai nelayan saat…
Masalah ini sebagian besar dibiarkan merana, hingga tahun 1985 saat para siswa dari sekolah di Prefektur Kochi, di mana banyak awak kapal tuna yang terpapar oleh insiden "Castle Bravo” itu, mewawancarai para nelayan sebagai bagian dari proyek sekolah.
Media lokal dan nasional kemudian mengetahui kisah para korban, yang membuat banyak orang mengajukan beberapa pertanyaan. Permintaan dokumen kepada kementerian kesehatan dan kesejahteraan Jepang untuk mendapatkan rincian tentang dampak radiasi terhadap para nelayan itu pun juga ditolak.
Saat itu, pemerintah bersikeras bahwa dokumen yang dikumpulkan pada tahun insiden itu sudah tidak ada lagi. Namun, setelah menghadapi serangkaian gugatan hukum, para birokrat akhirnya mengakui pada September 2014 bahwa mereka masih memiliki data tersebut.
Penundaan yang lama dalam penyerahan dokumen itu membuat para nelayan tidak dapat mengajukan gugatan hukum untuk mendapatkan kompensasi dari AS. Para korban mengklaim bahwa pemerintah Jepang sengaja menyembunyikan informasi tersebut.
Dua pengadilan di Jepang pada awalnya menolak tuntutan hukum yang diajukan oleh 31 penggugat, dengan alasan bahwa undang-undang pembatasan waktu 20 tahun dalam kasus itu telah kedaluwarsa. Para penggugat tidak setuju dengan keputusan itu dan menyatakan bahwa pemerintah Jepang lah yang telah mempersulit dengan menyembunyikan bukti-bukti penting. Pengadilan menjawab bahwa pemerintah tidak secara sengaja menyembunyikan data tersebut dan tetap berpegang teguh pada putusan mereka.
Masayoshi Naito, seorang pengacara dari Kantor Hukum Higashi Kanda di Tokyo, yang mewakili sejumlah kecil penggugat dalam kasus banding ini mengatakan bahwa, "kita harus ingat bahwa hal ini terjadi segera setelah gencatan senjata dalam Perang Korea dan peresmian Republik Rakyat Tiongkok [pada 1949], dan ada kekhawatiran bahwa insiden Lucky Dragon akan mendorong gerakan anti-nuklir di Jepang.”
'Ditutup-tutupi oleh AS dan Jepang'
Naito juga mengatakan bahwa, "pemerintah AS dan Jepang berusaha menutupi apa yang terjadi di Kepulauan Marshall,” seraya menambahkan bahwa lebih mudah untuk melakukan hal itu atas nama keamanan nasional, karena banyak nelayan yang terpapar radiasi itu baru mulai menunjukkan gejala medis setelah bertahun-tahun kemudian.
Para nelayan pada awalnya tidak melakukan protes karena mereka takut dikucilkan dalam masyarakat Jepang dan mata pencaharian mereka akan terancam, tambah Naito.
Naito juga telah mengajukan banding atas putusan pengadilan Jepang pada tahun 2019, yang menuntut agar skema asuransi pelaut yang dikelola pemerintah menanggung biaya kesehatan para korban.
Dengan kasus yang saat ini akan disidangkan kembali di Tokyo, Naito mengakui bahwa "tidak akan mudah" untuk mempengaruhi para hakim. Namun dia yakin bahwa kasus ini akan bergantung pada "bagaimana pengadilan bereaksi terhadap pemerintah yang menutup-nutupi fakta yang ada."
Shimomoto akan menggunakan perjalanannya ke Kepulauan Marshall sebagai bentuk promosi pesan anti-nuklirnya. "Jepang masih belum bergabung dengan Konvensi Senjata Nuklir," katanya.
"Ini adalah perjanjian yang seharusnya jelas bagi semua orang. Saya berharap semua negara bergabung dengan perjanjian ini, sehingga senjata nuklir dan kerusakan yang ditimbulkannya dapat dihilangkan dari Bumi. Dan saya ingin mereka yang telah menderita mendapatkan bantuan," ungkap Shimomoto.
(kp/rs)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.